Selasa, 16 Juli 2013

Hierarki Diam & Bicara


Kata “Hierarki” secara mudah bisa diartikan sebagai tingkatan, atau urutan. Kata prioritas mungkin juga bisa mewakilinya. Diam dan bicara itu ada hierarkinya. “Fal yaqul khairan au liyasmut, berkata yang baik atau diam”. Redaksi tersebut akan kita temui dalam Hadits Arbain An Nawawi, hadits ke-15.
Saya bukan ahli bahasa arab, tetapi saya suka dengan permainan bahasa. Dari redaksi “berkatalah yang baik atau diam”, saya menangkap bahwa kedua opsi tersebut bukanlah sekedar pilihan. Namun ada tingkatannya. Penyebutan “berkatalah yang baik” di awal kalimat menandakan bahwa opsi tersebut lebih utama. Sementara itu, “diam” merupakan opsi yang levelnya di bawah “berkatalah yang baik”.
Lawan dari berkata yang baik adalah berkata yang buruk. Namun, di antara kedua kutub itu ada sumbu netral bernama diam. Karena diam itu tidak berkata baik sekaligus tidak berkata buruk. Diam itu tidak berkata apa-apa.
hierarki
Perintah itu adalah “berkatalah yang baik”, bukan “berkatalah yang benar”. Karena tidak semua yang benar itu baik. Baik itu : benar isinya, indah caranya, tepat waktunya, bermanfaat, dan berpahala. Baik sudah tentu benar, benar belum tentu baik.
Kembali lagi ke pembahasan kita mengenai hierarki diam dan bicara.

Bicara atau berkata, bisa menggunakan lisan, juga bisa menggunakan tulisan. Maka heriarkinya sebenarnya ada tiga. Urutannya adalah : Berkata yang baik, diam, berkata yang buruk.
Dari tingkatan tersebut, sebenarnya bisa kita jabarkan algoritmanya sebagai berikut :
  1. Sebisa mungkin, berkatalah yang baik! Kalau tidak bisa, diam saja! Jangan berkata yang buruk!
  2. Berkata yang baik lebih baik dari pada diam. Diam lebih baik daripada berkata yang buruk.
  3. Kalau bisa berkata baik, jangan diam! Berkatalah yang baik!
  4. Kalau tidak bisa berkata yang baik, jangan berkata yang buruk!
Seringkali dalam forum apapun bentuknya, kita lebih memilih diam. Padahal kita memiliki ide yang baik. Padahal kita bisa berkata yang baik. Jika mendasarkan pada “Berkata yang baik atau diam”, maka diam itu merupakan kesalahan. Mengapa diam itu salah? Karena kita bisa berkata baik.
Opsinya ada dua : Berkata yang baik, atau diam. Ketika bisa berkata baik, jangan sekali-kali diam. Banyak orang-orang baik, gagal menularkan kebaikan karena ia memilih diam dengan alasan takut salah. Padahal salah ada dua macam: salah yang sengaja, dan salah karena sedang belajar. Bagi yang salah karena sedang belajar itu merupakan hal yang wajar dalam berproses.
Sementara itu, diam menjadi lebih utama ketika kita tidak bisa berkata baik. Ada kalanya berkata baik menjadi hal yang sangat berat. Ketika sedang marah misalnya, orang akan cenderung tidak terkontrol emosinya. Emosi tidak terkontrol, kata-katanya juga tidak terkontrol. Maka, dalam situasi ini diam adalah pilihan yang tepat.
Berkata, tidak hanya dengan lisan tapi juga tulisan. Maka, hierarki ini juga berlaku. Jika bisa menulis kebaikan, jangan diam saja tidak menulis. Tidak menulis merupakan pilihan yang salah ketika bisa menulis kebaikan.
Pembahasan saya mungkin kurang sistematis, saya mohon maaf. Inti dari tulisan saya ini adalah : Berkatalah (yang baik)  pada kondisi yang tepat, diamlah juga pada kondisi yang tepat.  Jangan sampai tertukar.
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berkata yang baik atau diam” (HR. Bukhari Muslim)

source :http://kangridwan.wordpress.com/2013/07/11/hierarki-diam-bicara/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar