Kata
“Hierarki” secara mudah bisa diartikan sebagai tingkatan, atau urutan.
Kata prioritas mungkin juga bisa mewakilinya. Diam dan bicara itu ada
hierarkinya. “Fal yaqul khairan au liyasmut, berkata yang baik atau diam”. Redaksi tersebut akan kita temui dalam Hadits Arbain An Nawawi, hadits ke-15.
Saya bukan
ahli bahasa arab, tetapi saya suka dengan permainan bahasa. Dari redaksi
“berkatalah yang baik atau diam”, saya menangkap bahwa kedua opsi
tersebut bukanlah sekedar pilihan. Namun ada tingkatannya. Penyebutan
“berkatalah yang baik” di awal kalimat menandakan bahwa opsi tersebut
lebih utama. Sementara itu, “diam” merupakan opsi yang levelnya di bawah
“berkatalah yang baik”.
Lawan dari
berkata yang baik adalah berkata yang buruk. Namun, di antara kedua
kutub itu ada sumbu netral bernama diam. Karena diam itu tidak berkata
baik sekaligus tidak berkata buruk. Diam itu tidak berkata apa-apa.
Perintah itu
adalah “berkatalah yang baik”, bukan “berkatalah yang benar”. Karena
tidak semua yang benar itu baik. Baik itu : benar isinya, indah caranya,
tepat waktunya, bermanfaat, dan berpahala. Baik sudah tentu benar,
benar belum tentu baik.
Kembali lagi ke pembahasan kita mengenai hierarki diam dan bicara.
Bicara atau berkata, bisa menggunakan lisan, juga bisa menggunakan tulisan. Maka heriarkinya sebenarnya ada tiga. Urutannya adalah : Berkata yang baik, diam, berkata yang buruk.
Dari tingkatan tersebut, sebenarnya bisa kita jabarkan algoritmanya sebagai berikut :
- Sebisa mungkin, berkatalah yang baik! Kalau tidak bisa, diam saja! Jangan berkata yang buruk!
- Berkata yang baik lebih baik dari pada diam. Diam lebih baik daripada berkata yang buruk.
- Kalau bisa berkata baik, jangan diam! Berkatalah yang baik!
- Kalau tidak bisa berkata yang baik, jangan berkata yang buruk!
Seringkali
dalam forum apapun bentuknya, kita lebih memilih diam. Padahal kita
memiliki ide yang baik. Padahal kita bisa berkata yang baik. Jika
mendasarkan pada “Berkata yang baik atau diam”, maka diam itu merupakan
kesalahan. Mengapa diam itu salah? Karena kita bisa berkata baik.
Opsinya ada
dua : Berkata yang baik, atau diam. Ketika bisa berkata baik, jangan
sekali-kali diam. Banyak orang-orang baik, gagal menularkan kebaikan
karena ia memilih diam dengan alasan takut salah. Padahal salah ada dua
macam: salah yang sengaja, dan salah karena sedang belajar. Bagi yang
salah karena sedang belajar itu merupakan hal yang wajar dalam
berproses.
Sementara
itu, diam menjadi lebih utama ketika kita tidak bisa berkata baik. Ada
kalanya berkata baik menjadi hal yang sangat berat. Ketika sedang marah
misalnya, orang akan cenderung tidak terkontrol emosinya. Emosi tidak
terkontrol, kata-katanya juga tidak terkontrol. Maka, dalam situasi ini
diam adalah pilihan yang tepat.
Berkata,
tidak hanya dengan lisan tapi juga tulisan. Maka, hierarki ini juga
berlaku. Jika bisa menulis kebaikan, jangan diam saja tidak menulis.
Tidak menulis merupakan pilihan yang salah ketika bisa menulis kebaikan.
Pembahasan saya mungkin kurang sistematis, saya mohon maaf. Inti dari tulisan saya ini adalah : Berkatalah (yang baik) pada kondisi yang tepat, diamlah juga pada kondisi yang tepat. Jangan sampai tertukar.
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berkata yang baik atau diam” (HR. Bukhari Muslim)
source :http://kangridwan.wordpress.com/2013/07/11/hierarki-diam-bicara/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar