GUS MIEK MEMANUSIAKAN MANUSIA
Oleh : Rijal Pakne Avisa
Hendra dan Gus Miek
---
Cara mengentaskan saudara-saudara yang terjerembab di lembah hitam
memang variatif. Ada yang memilih jalur kepruk dan anarkisme sembari
menyerobot alih tugas aparat, ada yang memegang “kepala ular” alias
pimpinan komplotan dengan cara elegan dan memanusiakan manusia
sebagaimana yang dilakukan oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin dan Habib
Syech bin Abdul Qadir Assegaf, dan ada pula yang masuk ke “sarang
harimau” lalu menjinakkannya karena sudah memiliki kemampuan “pawang”.
Metode ketiga ini dilakukan oleh Allah Yarham KH. Chamim Djazuli alias
Gus Miek.
Cara kedua dan ketiga, saya kira, lebih manusiawi,
elegan, dan berkelas. Inilah alasan mengapa saya selalu takjub pada
dengan caranya yang khas memanusiakan manusia. Mereka bekerja dalam
sunyi, menawarkan alternatif, tanpa slogan bombastis, tanpa parade
ekstravagan, tanpa cacimaki, dan tetap realistis memandang realitas.
Mereka berusaha menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru.
Inilah yang, bagi saya pribadi, sebuah cara yang ekselen alias ahsan.
Dalam coretan ini, saya menulis sekilas kiprah Gus Miek, salah satu
kiai yang dengan caranya yang khas, khariqul adah, dan kontroversial,
berusaha merangkul manusia-manusia yang dinista, dipinggirkan, dan
dihinakan.
Kisah seputar kelihaian Gus Miek mengentaskan
manusia dari jurang kekelaman, penulis dapatkan dari seorang jamaah
Dzikrul Ghafilin, sebut saja namanya Hendra, asal Malang. Ia malang
melintang di dunia malam Surabaya pada era 1980-an. Pria ini disadarkan
Gus Miek di coffe shop Hotel Elmi Surabaya. "Di sudut keremangan, saya
melihat sosok Gus Miek, yang pakai topi koboi. Aneh, wajahnya bercahaya.
Saya dekati dia, ada senyum yang menentramkan hati. Uniknya, dia tahu
seluk beluk diri saya dan semua perjalanan hidup saya. Setelah ngobrol
santai, dia hanya bilang singkat, bahwa ibu saya—yang rajin
ibadah--sekarang menangis di alam kubur saat melihat kondisi saya. Gus
Mik menitipkan dari salam ibu buat saya," kata Hendra pada penulis di
warung kopi Makam Sunan Ampel, Jumat dinihari, 6 Maret 2009.
Semenjak pertemuan dengan Gus Miek itu, Hendra—yang tubuhnya dirajah
tato--- merasa ingin merindukan masjid. Saat mendengar info keberadaan
Gus Miek, saat itu pula ia mengejar. "Kalau beruntung ya ketemu,
salaman, minta doa sama beliau," kata pria yang kini menekuni usaha
perkebunan ini. Sampai saat ini, Hendra mengaku rajin mengikuti jamaah
Dzikrul Ghafilin di manapun. Setiap habis shalat, ia kirim fatihah dan
kirim doa buat kedua orang tuanya, ini sesuai petunjuk Gus Miek. "Tentu
saya juga berdoa dan kirim fatihah buat beliau (Gus Miek)," lanjutnya
sambil menghisap kretek kesukaannya.
Dalam perbincangan selama
dua jam itu, Hendra banyak berkisah tentang teman-temannya yang insaf
gara-gara bertemu Gus Miek. "Kami merasa benar-benar dirangkul oleh Gus
Miek, dialah yang mengajarkan kami makna kehidupan. Tentang pentingnya
silaturrahmi, keutamaan membaca al-Qur'an, dan banyak lagi," terang pria
berputra tiga ini. Ia menganggap gurunya sebagai tangan yang menariknya
agar tak tenggelam dalam lumpur kemaksiatan. Tak lupa, ia juga
menyuguhkan beragam kisah keramat tentang guru yang dicintainya itu.
Sebelum pamit, Hendra nitip harapan. "Seandainya para kiai sekarang
berani bertaruh kehormatan, harga diri, dan nama baik untuk berdakwah di
tempat-tempat maksiat seperti Gus Miek, saya ragu para kiai akan
sanggup," kata Hendra.
Matanya mengembun. Saya hanya tersenyum mendengarnya.
---
Kisah ini pernah saya muat dalam buku “Cermin Bening Dari Pesantren: Potret Keteladanan Para Kiai" (Surabaya: Khalista, 2009)
--
Allahummaj'alid dunya tahta aidina wala taj'alha fi qulubina...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar