Senin, 22 Juli 2013

Kesempurnaan Itu Sirna, Akibat Kelalaian Saya




Vemale.com - vemale.com-
Ya, Amalia Yunita – Pemenang Fun Fearless Female 2001 – bercerita pada Cosmo mengenai tragedi yang dialaminya.
Kecintaan saya terhadap alam bisa dibilang sangat besar. Sewaktu duduk di bangku SMP, saya memberanikan diri untuk mengikuti kegiatan camping. Aktivitas ini berlanjut hingga SMA sampai ke perguruan tinggi. Di tahun pertama saya kembali tergabung dalam klub pecinta alam. Saya cukup terbilang aktif pada masanya. Bayangkan saja, setiap tahun saya mengikuti ekspedisi, dari berlayar, caving, rafting, hiking, sampai aktivitas yang memacu adrenalin lainnya. Saking waktu saya banyak dihabiskan dengan kegiatan tersebut, saya sempat berpikir, sepertinya sekolah yang saya lalui bukan di jurusan Teknik Sipil, melainkan di pecinta alam.
Setelah lulus, beberapa kali saya menjajal ekspedisi arung jeram ke luar negeri, salah satunya ke Zimbabwe, Afrika, pada 1994. Saya melihat pengelolaan wisata arus liar di daerah tersebut sudah sangat maju. Tapi saya juga pernah berlatih di sungai-sungai sekitar pulau Jawa Barat untuk ekspedisi, dan ternyata potensinya juga tidak kalah bagus dengan yang ada di negara lain. Sebab itu, saya jadi termotivasi untuk memanfaatkan potensi sungai yang ada di Indonesia. Sebelum cita-cita itu terwujud, saya pun dilamar oleh Lody Korua, pria yang juga mempunyai interest yang serupa. Beruntungnya saya, ketika ia menjadi pasangan hidup untuk selamanya. Ia sangat mengerti kegemaran saya akan alam, dan kami pun menuangkan kecintaan kami ini dengan membuat usaha Tropical Adventure, usaha yang menyediakan paket-paket olahraga arung jeram, yang kini menjadi Arus Liar. Ya, walaupun pada awalnya teman saya sempat menganggap remeh usaha yang saya buat, tapi saya tak peduli!
Justru, saya semakin terpacu untuk membuktikannya. Karena sama-sama pengarung jeram, pada 1996 kami pun menikah. Berbeda dengan pasangan lainnya, pernikahan kami dilakukan di sungai. Dan saat di darat, teman-teman saya telah membuat pesta 'dayung pora' – prosesi yang sering dilakukan di kalangan militer, yaitu pedang pora. Setelahnya, dengan memakai baju pengantin, saya dan pasangan di bawa keliling dengan perahu karet yang telah dihias.
Kebahagiaan saya ternyata tidak sampai di situ saja, usaha yang dijalankan membuahkan hasil: perusahaan berkembang menjadi one-stop adventure, menjadi pemenang Fun Fearless Female 2001, mempunyai tiga orang anak yang cantik dan tampan, dan, yang terpenting, saya masih bisa menyalurkan hobi rafting dan hiking.
Sempat beberapa kali saya meninggalkan pasangan untuk kegiatan sosial, salah satunya seperti membuat acara amal untuk penderita lupus. Saat itu saya bersama wanita-wanita Indonesia lainnya mendaki gunung ke Himalaya, Nepal. Dengan ketinggian 5.545 m, dan suhu ekstrem yang mencapai -15 derajat celcius, tak membuat semangat saya padam mencapai puncak, walaupun efeknya nanti wajah dan tubuh saya jadi terbakar dan kering. Meskipun kegiatan yang saya lakukan bisa dikategorikan maskulin, tapi tidak dipungkiri saya masih tetap merawat diri. Toh, nantinya warna kulit saya juga akan kembali normal setelah turun gunung. Yang penting, buat saya alam itu segalanya – bisa menjadi sumber kehidupan dan sebagai guru terbesar buat saya. Begitu juga yang saya lakukan kepada keluarga. Saya kerap membawa mereka untuk menikmati keindahan dan kekayaan alam saat akhir pekan. Dan...semua yang saya miliki adalah sebuah anugerah yang tak tergantikan.
Peristiwa Yang Terjadi Begitu Cepat
Di penghujung tahun 2011, tepatnya satu hari sebelum malam pergantian tahun, saya dan keluarga berencana mengikuti night rafting di Citarik. Tapi berhubung kami sudah memesan tiket ke Bali untuk tanggal 2 Januari 2012, jadi saya beserta anak-anak memutuskan untuk menghabiskan waktu di apartemen saja. Saya berpikir, daripada tidak ikut memeriahkan pesta tahun baru, lebih baik saya mengundang sepupu saya untuk barbeque-an. Tanpa ada persiapan sebelumnya, kami langsung bergegas menuju swalayan terdekat, untuk membeli berbagai bahan yang diperlukan. Tapi saat itu, bahan untuk membuat api habis terjual. Dan ketika pelayan toko menyarankan untuk membeli bensin, anehnya saya langsung mengiyakan.
Setelah usai membeli bensin, saya kembali menuju apartemen. Di balkon lantai 27, saya dan sepupu mulai menyiapkan peralatan untuk 'bakar-bakaran'. Saat saya mulai menuang bensin di sekitar tungku batu bara...BOOM! Api yang sangat besar langsung menyambar tangan dan wajah saya. Yang membuat kondisi semakin buruk, baju yang saya kenakan berbahan silk. Otomatis sambarannya sangat cepat ke bagian tubuh. Tanpa berpikir panjang, secepat mungkin saya membuka baju, dan berlari ke kamar mandi. Saking paniknya, di tengah perjalanan saya terpeleset. Dengan darah yang terus mengalir, dan sengatan luka bakar yang kian perih, saya pun dengan sontak berteriak, "Cepat cari bantuan!" Sembari saya terus menyirami luka-luka itu dengan aliran air yang mengalir di kamar mandi, anak-anak dan sepupu saya terus mencoba untuk memadamkan api yang kian membesar di balkon apartemen saya.
Saat itu, suasana yang terasa begitu kacau dan chaos. Anak saya yang paling kecil, terus menangis sambil menatap saya dengan penuh ketakutan. Sedangkan lainnya, mencoba memadamkan api dengan wadah seadanya, seperti tempat sampah. Selama hampir 20 menit saya berada di dalam kamar mandi. Saat itu, saya tiba-tiba melihat sebuah gelembung besar di tangan. Setelah beberapa saat, gelembung itu pun jatuh. Kaget? Pasti. Takut? Pasti! Tapi saya tidak mau memperlihatkan ketakutan ini di depan anak saya. Akhirnya setelah anak-anak dan sepupu bolak-balik mengambil air dari pantry, api pun sudah mulai padam, dan para security baru tiba di tempat kejadian. Berhubung tanda emergency sudah berbunyi, dan mau tidak mau fasilitas lift dimatikan sementara oleh pihak apartemen, jadi mereka harus menggunakan tangga darurat. Mendengar orang security datang, dari kamar mandi saya kembali berteriak, "Tolong panggilkan ambulans!!!" Meskipun apartemen saya cukup dekat dengan rumah sakit, namun mobil ambulans yang menuju tempat saya stuck akibat kemacetan malam tahun baru. Alhasil, dengan luka yang masih basah, saya, anak-anak, dan sepupu bergegas masuk ke taksi. Tepat malam pergantian tahun, kami pun menuju ke rumah sakit.
Sesampainya di sana, saya langsung dibawa ke Unit Gawat Darurat . Yang saya inginkan saat itu adalah bertemu Lody. Tapi ia sedang berada di Citarik, karena kebetulan kami berdua memang sengaja membagi tugas. Pagi itu, sebelum saya masuk ke ruang operasi, saya menghubungi Lody supaya bisa segera sampai ke rumah sakit. Saat ia mendengar berita tersebut, sontak ia kaget dan langsung bertolak menuju Jakarta. Akhirnya, untuk membersihkan luka-luka itu saya masuk ke ruang operasi dan dibius total. Selama dua sampai tiga jam, saya pun tidak sadarkan diri.
Ketika sadar, saya sudah berada di kamar opname, namun ada satu hal yang membuat saya nyaman: saya melihat Lody sudah ada di samping saya. Sempat terbersit rasa khawatir yang cukup tinggi, "Bagaimana reaksi orang-orang melihat wajah saya nanti?" Tak lama berselang, dokter pun datang untuk memberitahukan tingkat keparahan luka saya. Sedikit tegang, tapi saya berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengetahui tingkat keparahannya. Dan hasilnya? Saya berada di tingkat 2A-2B, yang artinya tingkat luka bakar yang diderita bukan yang ringan, tapi juga bukan yang parah. Namun yang membuat saya kian sedih, ternyata selama enam bulan sampai satu tahun lamanya, saya tidak diperbolehkan untuk terkena sinar matahari langsung. Kontan saya terkulai lemas kala mendengar perkataan dokter. Untungnya, perasaan pesimis itu cepat hilang ketika teman dan keluarga saya datang menjenguk. Mereka memberikan kebahagiaan dan keceriaan, bukan rasa sedih dan belas kasihan. Itulah yang membuat saya tetap semangat menjalani hari-hari di rumah sakit.
Saking banyaknya orang yang menjenguk, malam itu saya pun di pindahkan ke rumah sakit lain yang memiliki kamar isolasi khusus, karena takut kulit saya yang terbilang sensitif akibat luka bakar ini bisa dimasuki kuman-kuman yang dibawa oleh penjenguk. Selama sembilan hari lantas saya pun berada di ruang isolasi.
Kejadian itu 'Membekas' Untuk Selamanya
Malam sebelum saya pulang, saya terus dihantui oleh kejadian yang sangat menakutkan di malam pergantian tahun. Sambaran api, darah yang terus mengalir, hingga saat saya terus berada di kamar mandi untuk memberi pertolongan pertama. Hal itu membuat saya tak kuasa menahan rasa takut yang semakin mendalam. Bahkan, anak saya yang paling kecil pun mengalami trauma untuk kembali ke rumah. Saya benar-benar tidak tahu apakah saya bisa melewati kejadian yang sangat berat ini? Dan, esok pun tiba. Saya dan Lody, mau tidak mau harus menginjakkan kaki ke rumah, tapi sesampainya saya di sana, saya dikejutkan oleh keluarga dan teman-teman saya yang sudah menunggu di apartemen. Ternyata mereka sengaja hadir untuk memberikan support penuh terhadap saya. Dengan perlahan, saya duduk di dekat tempat saya terkena sambaran api. "Saya bisa melalui ini semua, saya bisa melalui ini semua," – itulah yang saya terus-menerus pikirkan di benak saya. Akhirnya hari pertama saya lalui dengan lancar.
Namun mindset tersebut nyatanya hanya berangsur satu hari saja. Setelah pagi menjelang, entah kenapa saat melihat kamar mandi, saya sontak berteriak kencang sambil menangis dan tidak ingin melihat ke arah tersebut. Setelah itu, pintu kamar mandi pun harus selalu ditutup! Untungnya, perasaan saya mulai membaik, sampai momen ketika sopir saya tanpa sengaja bercerita bagaimana ia membayangkan sakitnya luka yang saya derita, dengan kondisi kaki besi barbeque yang menghitam saat dibersihkannya. Saya kembali histeris.
Saya tidak ingin memelihara ketakutan ini selamanya, maka dari itu saya berusaha bertanya ke salah satu teman yang seorang psikolog. Ternyata, kuncinya adalah melawan ketakutan saya dengan perlahan! Seiring berjalannya hari, saya pun mulai memberanikan diri untuk ke kamar mandi, dan menjalani masa penyembuhan ini dengan sikap yang positif. Meskipun pada kenyataannya mata saya jadi mengecil, hidung jadi tidak bertulang, dan rasanya muka saya seperti ada 100 semut yang menyerang. Benar-benar membuat saya tidak nyaman! Tapi di samping itu, saya menyadari kalau ini adalah proses yang harus saya jalani selama enam bulan atau satu tahun, untuk mengetahui hasil akhirnya. Setelah beberapa minggu berlalu, saya pun harus tetap semangat untuk bisa mengembalikan wajah dan tubuh saya kembali dengan cara melatih persendian di bagian yang terkena luka bakar. Selain itu, saya juga sudah kembali bekerja, walaupun pada awalnya hal itu sangat menyusahkan karena aktivitas saya kebanyakan berada di outdoor. Tapi semenjak perban di tangan saya sudah di buka, saya pun bisa beraktivitas kembali. Justru kebanyakan tugas kantor saya dialihkan ke apartemen. Prinsip saya, meskipun fisik belum sembuh total, tapi otak saya masih bisa bekerja. Dan satu lagi, saya ingin menulis sebuah buku bagi para burn survivor, di mana para penderita bisa tahu fase-fase seperti apa yang akan dijalani. Karena kita tidak pernah tahu hasilnya akan seperti apa setelah enam bulan berjalan. Itulah yang ingin saya ceritakan ke pembaca, bagaimana para penderita luka bakar harus memiliki sebuah keberanian dan kesabaran yang tinggi.
Pertolongan Pertama Pada Luka Bakar
  1. Jangan sampai terlalu lama terpapar api. Caranya, jauhi sumber api, padamkan dengan cara berguling-guling di tanah atau menutup tubuh dengan karung goni basah – dan lepaskan segera bahan-bahan yang bisa jadi pemicu timbulnya api, seperti pakaian, celana, scarf, cincin, jam tangan atau semua yang bisa menghasilkan panas.
  2. Odol atau kecap BUKAN salah satu cara pengobatan untuk luka bakar. FYI, odol mengandung zat kimia yang bisa menambah dalam lukanya. Menurut laporan ilmiah, cara untuk memberikan first aid bagi orang terkena luka bakar adalah mengalirinya dengan air selama 20 menit.
  3. Langsung menghubungi telepon darurat, keluarga atau ambulans, dan segera pergi ke rumah sakit. Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa dangkal atau dalamnya luka bakar pada seseorang. (Cosmo/bee)
Source: Cosmopolitan Edisi Maret 2012, Halaman 210

Tidak ada komentar:

Posting Komentar