Selasa, 17 Juni 2014

Nyi Roro Kidul Masuk Islam

Mas Habib Chirzin, mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah, pernah punya pengalaman menarik. Sewaktu berada di Mekkah, ia bertemu dengan Raja Ternate. Dan raja itu membawa berita amat menarik. Katanya, di Mekkah ia bertemu dengan Nyi Roro Kidul yang sedang melaksanakan ibadah haji. Gelar haji Nyi Roro Kidul adalah Hajjah Syarifah.
Berita Nyi Roro Kidul yang sudah hajjah ini ternyata sudah lama tersebar di antara orang-orang Jawa yang punya "linuwih". Dan apa yang diceritakan Raja Ternate kepada Habib Chirzin ini ternyata dibenarkan orang-orang linuwih itu. "Benar, Mas. Saya juga sudah diberitahu bahwa Kanjeng Ratu sudah naik haji dan bernama Hajjah Syarifah," kata Mbak Ajeng, seorang wanita yang mengaku sering berkomunikasi dengan Nyi Roro Kidul.

Tidak Ada yang “Kebetulan”… Semua Sudah Diatur...


Kita menjadi orang yang sangat toleran dengan kata “kebetulan”. Hampir sebagian besar yang terjadi pada hidup kita tanpa direncanakan selalu dianggap “kebetulan”. Memangnya siapa pemilik rencana semua ini ? Kita sering lupa ada “sang pemilik” rencana hidup kita. Sungguh, hanya logika dan akal manusia yang beranggapan ada “kebetulan” dalam hidup. Jadi, ingatlah kebetulan, sungguh hanya bahasa kita, bahasa manusia. “Kebetulan” kata kita adalah bahasa ketidaksanggupan kita dalam memahami kesengajaan Allah/Tuhan.

Pernahkah …
Saat kau duduk santai dan menikmati harimu, tiba-tiba kamu terpikirkan ingin berbuat sesuatu kebaikan untuk seseorang..?
Itu adalah Allah…
Yang sedang berbicara denganmu dan mengetuk hatimu…

Pernahkah…
Saat kau sedang sedih… kecewa… tetapi tidak ada orang di sekitarmu yang dapat kau jadikan tempat curahan hati..?
Itulah saat di mana Allah… sedang rindu padamu dan ingin agar kamu berbicara padaNYA…

Pernahkah…
Kamu tanpa sengaja memikirkan seseorang yang sudah lama tidak bertemu dan tiba-tiba orang tersebut muncul atau kamu bertemu dengannya atau menerima telepon darinya..?
Itu adalah Kuasa Allah yang sedang menghiburmu.
Tidak ada namanya KEBETULAN …

Pernahkah…
Kamu mengharapkan sesuatu yang tidak terduga…
Yang selama ini kamu inginkan, Tapi sulit untuk didapatkan..? .. dan ada
Itu adalah Allah…
Yang mengetahui dan mendengar suara batinmu…
Dan hasil dari benih kebaikan yang kamu taburkan sebelumnya.

Pernahkah…
Kau berada dalam situasi yang buntu… semua terasa begitu sulit…
Begitu tidak menyenangkan… hambar…kosong… bahkan menakutkan…?
Itu adalah saat di mana Allah mengijinkan kamu diuji, supaya kamu menyadari KeberadaanNYA.
Dan Allah ingin mendengar rintihan dan doamu.
Karena DIA tahu kamu sudah mulai melupakanNYA demi kesenangan…
Sering Allah mendemonstrasikan KASIH dan KUASANYA di dalam area, di mana saat manusia merasa dirinya tak mampu.

Apakah terpikir tulisan ini hanya iseng ada di sini…?
TIDAK..! Sekali lagi TIDAK TIDAK..!
Sekali lagi TIDAK ada yang KEBETULAN…
Beberapa menit ini, tenangkanlah dirimu…
Rasakan kehadiran-Nya…
Dengarkan suara-Nya yang berkata:
“Jangan Khawatir, AKU ada disini bersamamu..!”


source : Syarif Yunus
http://filsafat.kompasiana.com/2013/08/23/tidak-ada-yang-kebetulan--583280.html#

Jika Cinta Itu Berwujud Maka Itu Adalah Pengorbanan

Hati sebenarnya tak berbentuk, ia hanyut dengan cinta yang tulus, rentan dan mudah hancur. Itu berarti cinta mampu mengakali dan mengendalikannya, membuatnya penuh sekaligus kosong, hidup sekaligus mati,. Cinta mampu membuat hati tampak bodoh, ia mampu seolah menjadi mawar yang cantik, namun penuh duri yang tajam. Cinta juga mampu menjadikan dirinya dewa. Perintahnya adalah candu, sedang larangannya adalah nestapa yang penuh kesakitan.
Awalnya cinta hadir di tengah-tengah hati yang kosong. Buaiannya terasa sangat kuat, nafas terhenti, lalu jantung adalah getaran-getaran yang bergetar. Mata buta, telinga tak mendengar lagi, Ucapan bibir dipenuhi sajak-sajak yang indah, bahkan aroma bunga selalu berada di antara jarak pandang dan intipan kecil yang jauh. Cinta serasa mengaduk-aduk dan memporak-porandakan isi hati. Dengan cinta hati tak perlu bermimpi indah, ia senantiasa hadir, kehadirannya adalah pertemuan dan keinginan saling berjanji. Cinta juga berupa kenyataan, nyata yang merindu, nyata yang menginginkan. nyata yang saling mencinta …
Karena dengan begitu, artinya cinta bisa saja mengalahkan hati. Kehadirannya adalah kejujuran, namun bukan berarti tak ada dusta di dalamnya. Cinta bisa saja menjadi pengikat setia, namun bukan berarti mutlak tak ada pengkhianatan. Cinta adalah romantika dan keindahan, namun tak selamanya berwujud taman-taman bunga, ia sering kali datang dengan pagar yang berduri.
Cinta, ia penuh ikatan janji, namun tetap dengan ikatan yang rentan.
Maka akhir cinta adalah mimpi buruk, ia bisa menjadi kenyataan yang paling pahit. Cinta bisa saja menghilangkan harga diri dan mengubahnya menjadi kebodohan. Kesakitan-kesakitan adalah manifestasi dari isak tangis janji yang sia-sia. Hitam, kelam, dan buta, ia mengubah semuanya. Sedang hati kemudian tinggal kekosongan, ia tersisihkan, hampa seperti kapas-kapas yang terbawa angin.
Kemudian, dan selanjutnya …
Cinta hadir dalam dongeng. Ia disandiwarakan dengan penuh haru dan kesedihan, dengan keyakinan bahwa semuanya akan menjelma kebahagiaan dan ajakan saling merindu. Puisi-puisi pun diciptakan. Syair menjadi alunan yang pas, dan ritme melakonkannya dengan sempurnya.
Semuanya juga begitu, dongeng; Tak ubahnya hanyalah cerita yang penuh kebohongan.
Cinta adalah pengorbanan, maka harga diri adalah tumbalnya.
Cinta berupa kesakitan, maka isak tangis adalah resikonya.
Jika cinta adalah mimpi-mimpi, maka kenyataan, menjadikannya lebih penuh kedekatan.
Cinta, hati yang menua dengan pengorbanan yang pas dan kesakitan-kesakitan dalam mimpi yang sempurna.
source : http://aldisido.wordpress.com/2013/12/27/26-desember-tentang-cinta/

Senin, 16 Juni 2014

Puasa Daud : Mencerdaskan Spiritual


Kecerdasan spiritual merupakan puncak manifestasi segala amal ibadah dan perbuatan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari semua orang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Di samping itu, mereka juga tidak lupa “berdoa” memohon kepada Tuhan agar dilancarkan semua urusan dan pekerjaannya tersebut.
Ternyata dalam realitasnya, mereka tidak sekedar kerja keras guna menanggapi apa yang mereka inginkan atau yang mereka cita-citakan. Di samping itu, mereka juga melaksanakan ibadah shalat, bahkan sebagian ada yang berpuasa.
Yang menjadi persoalan adalah apa tujuan mereka melakukan shalat dan puasa? Kalau mereka bekerja dan belajar, jelas tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhannya. Tetapi kalau shalat dan puasa? Minimal ada tiga hal yang mereka harapkan dari shalat dan puasa terkait dengan berbagai hal di atas.
Pertama, shalat dan puasa untuk memenuhi tuntutan beragama. Dalam hal ini, banyak dijumpai umat Islam yang memandang bahwa pengamalan ibadah seperti shalat dan puasa tidak ada hubungannya sama sekali dengan bekerja, belajar, dan prestasi serta kualitas hidup. Umat Islam pada level ini bisa dikatakan memisahkan agama dan ilmu dalam kadar tertentu. Bahwa orang sukses atau tidak merupakan usaha orang tersebut dan tidak pandang ia shalat dan puasa atau tidak. Oleh karena itu golongan ini dengan tegas mengatakan bahwa: “Tidak ada kaitan yang erat antara gagal dan suksesnya seseorang dengan segala bentuk peribadahanya; orang yang gagal dalam menggapai cita-cita bukan karena banyak dosa dan orang yang berhasil mencapai kejayaan dalam hidupnya bukan karena ketaatan pada Tuhan”. Begitulah argumen mereka dalam memisahkan antara akal dan wahyu, ilmu dan agama, serta amal dan iman.
Tidak cukup dengan argumentasi di atas, mereka mampu menunjukan bukti empiris-rasionalistik. Banyak penjahat yang hidupnya jauh lebih baik daripada muslim pada umumnya; banyak orang tidak kenal dengan shalat dan puasa tetapi mereka mampu membangun kehidupan selayaknya seorang yang tekun di masjid dan mushalla; banyak di antara umat Islam yang tanpa shalat dan puasa tetapi mereka berkehidupan mewah dan bahagia sesuai dengan apa yang mereka cita-citakan selama ini; bahkan banyak orang kafir yang sejahtera dan berkemakmuran dibandingkan dengan umat Islam yang menegakan shalat dan puasa.
Menurut mereka jika di antara umat Islam yang menegakan shalat dan puasa maka ia sesungguhnya tertipu oleh akalnya yang kurang beres. Minimal, orang ini dipandang sebagai mencampur adukan akal dan wahyu, ilmu dan agama, serta amal dan iman. Di mana kedua jenis hal tersebut sangat berbeda jauh baik secara asal muasalnya maupun cara pengalamannya.
Wahyu, agama dan iman merupakan hal yang berasal dari alam ghaib yang diciptakan Allah, sedangkan akal, amal dan ilmu, merupakan keniscayaan dalam diri manusia di dunia ini serta bersifat indrawi. Oleh karena itu, mereka sampai pada kesimpulan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang dapat memisahkan antara ilmu dan agama, akal dan wahyu serta amal dan iman.
Kedua, shalat dan puasa sebagai sarana prestasi. Lain dengan kelompok pertama di atas, umat Islam pada kelompok ini memandang bahwa: “Ada hubungan yang signifikan antara ilmu dan agama,akal dan wahyu serta amal dan iman”. Mereka berpendapat semakin taat manusia beribadah kepada Allah, maka semakin mudah ia dalam meraih apa yang dicita-citakannya baik di dunia dan di akhirat nanti. Jika ada di antara umat Islam yang tekun beribadah tetapi tidak bahagia dan sukses dalam menjalani kehidupan, maka ada sesuatu yang salah dalam ibadahnya tersebut.
Demikian juga jika ada di antara umat Islam yang kurang tekun beribadah tetapi hidupnya sukses dan bahagia, maka ada sesuatu yang salah dalam upaya menggapai kebahagiaan dan kesuksesan tersebut. Sesuatu yang salah tersebut disebabkan oleh kurang taatnya beribadah seseorang kepada Allah.
Sedangkan jika ada di antara umat Islam yang kurang tekun beribadah dan kurang bahagia serta kurang sukses, maka kedua-duanya (ibadah dan usaha) ada sesuatu yang salah. Dan apabila banyak di antara umat Islam yang taat beribadah serta hidupnya bahagia, sakinah berkeluarga, serta sukses menggapai cita-cita, maka hal itu disebabkan oleh ibadahnya yang tekun serta usahanya yang keras.
Oleh karena itu, mereka sampai pada kesimpulan bahwa; “jika ibadah dan ketaatannya kepada Allah kurang maka kebahagiaan dan kesuksesannya juga kurang. Demikian juga, jika usahanya dalam menggapai cita-cita kebahagiaan itu dengan sungguh-sungguh dan tekun, diiringi dengan tekunnya ibadah, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan”.
Ketiga, shalat dan puasa sebagai manifestasi kerja dan profesi. Di samping kedua pandangan di atas, ada pandangan lain terhadap ibadah shalat dan puasa, berkaitan dengan pekerjaan dan profesi hidup. Pandangan kelompok ini merupakan kebalikan dari pandangan pertama dan kedua di atas. Dalam pandangan ketiga ini, memahami pekerjaan dan profesi merupakan hal yang “sama” dengan shalat dan puasa. Dengan kata lain, segala sesuatu yang dilakukan manusia merupakan bentuk peribadahan kepada Tuhan. Yang membedakan hanyalah hukum (sunnah atau wajibnya) serta kedudukannya di sisi Allah.
Mereka memandang bahwa kesuksesan dan kebahagiaan hidup tidak ada artinya jika tidak diimbangi dengan ketaatan beribadah. Demikian juga, ibadah yang tekun akan mudah goyah dan tergelincir oleh malasnya bekerja yang berujung pada kemiskinan dan penderitaan hidup. Ibadah dan ikhtiar harus diseimbangkan dalam ranah kemanusiaan, sehingga umat islam dapat menikmati hidup yang bahagia di atas ketundukan penuh kepada Allah SWT.
Dari ketiga pandangan di atas, hanya pandangan ketigalah yang merupakan kecerdasan spiritual. Bagaimana orang mampu mencapai kemampuan untuk menyamakan antara pekerjaan dengan ibadah dan profesi kerja. Hal ini akan mudah dicapai manakala seseorang telah mampu mengendalikan diri secara kontinue dan mencerdaskan jiwanya telebih dahulu.
Konsep kecerdasan jiwa menunjukan bahwa hal tersebut hanya bisa dicapai dengan puasa Daud. Mengapa demikian? Sebab puasa Daud dilakukan dalam sepanjang tahun dan dalam waktu yang jaraknya sangat pendek, yakni sehari semalam. Demikian pula dengan pekerjaan dan profesi manusia. Pekerjaan dilakukan bahkan tiap hari.
Adapun pengendalian diri dalam puasa adalah perjuangan membersihkan diri dari kotornya pekerjaan dan profesi yang ditimbulkan oleh multi interaksi dengan sesama manusia. Perpaduan kedua perjuangan inilah yang mampu mengantarkan manusia menuju puncak spiritualitas keimanan, yang dalam hal ini disebut sebagai kecerdasan spiritual.
Dalam konteks ini, orang tidak lagi memandang untuk apa ia berbuat ini dan itu, mengapa harus begini dan begitu serta hal-hal lain yang ia kerjakan. Tetapi yang ia pandang hanyalah Allah yang menempati ini dan itu tadi serta Allah lah yang memerintahkannya harus begini dan begitu. Dengan pemahaman semacam ini seseorang yang beribadah kepada-Nya, termasuk puasa Daud tidak lagi berharap kesejahteraan, kebahagiaan dan kesuksesan, bahkan surga dan neraka sekalipun. Yang ia harapkan tidak lain adalah “bersatu” dengan-Nya.
Puasa Daud yang telah mengkristal dalam kecerdasan spiritual akan menjadikan pelakunya sebagai hamba yang “patuh tanpa syarat”. Ia takut kepada-Nya bukan karena Dia berkuasa atas neraka dan segala laknat-Nya. Ia mencintai-Nya bukan karena Allah menggenggam surga dengan segala keindahannya. Tetapi ia telah lepas dari rasa “cinta” dan “takut” tersebut lalu menjelma sebagai ke-“Aku”-an yang agung. Artinya, kecerdasan spiritual yang ditimbulkan oleh pengkristalan puasa Daud tersebut telah menurunkan sifat-sifat Allah dalam dirinya. Ia mampu memaafkan siapapun yang berbuat fitnah kepadanya, sabar terhadap segala kezaliman atas dirinya, dermawan dan penyayang terhadap sesamanya.
Ia laksana “Tuhan” yang turun dari singgasana langit untuk menunjukan ke-Maha Agug-annya. Orang yang mempunyai kecerdasan spiritual, adalah orang yang mampu bersikap, berbuat, dan berlaku sebagaimana Allah bersikap dan berbuat dalam kapasitasnya sebagaimana manusia. Pengendalian diri dengan cara puasa Daud, adalah titik awal menuju kecerdasan jiwa, dan kecerdasan jiwa inilah yang akan membawa manusia menuju puncak kecerdasan spiritual.

source : http://kopda.auliacendekia.com/?page_id=104

Puasa Daud : Mencerdaskan Jiwa

Menurut Muhammad Muhyidin, jiwa diartikan sebagai persatuan atau gabungan antara roh dan tubuh ketika manusia masih berada dalam alam kandungan.Menurutnya, bahwa roh bersifat suci, sebagaimana Allah menghendakinya, sedangkan jasad atau tubuh bersifat tidak suci. Jadi jiwa adalah gabungan dua entitas, yakni kesucian roh dan ketidaksucian tubuh. Dengan demikian, jiwa bisa bersifat suci, atau bersifat tidak suci, atau gabungan antara suci dan tidak suci tersebut.
Di sini tidak akan dibahas jiwa secara mendetail melainkan akan dikemukakan kecerdasan jiwa yang ditimbulkan oleh kedahsyatan puasa Daud.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (Q.S. Al-A’raf:172)
Karena sifatnya yang demikian, maka jiwa merupakan entitas yang bisa terkontaminasi oleh penggunaan indra secara dominan. Artinya, jiwa akan menjadi tumpul jika ia tidak lagi mencerminkan kesucian roh, dan didominasi oleh ketidaksucian tubuh.
Tegasnya, jika ada orang dalam hidupnya hanya mementingkan kebutuhan badaniah semata, dan mengabaikan kepentingan batiniah (kebahagiaan, ketenangan, kedamaian, dan lain-lain), maka orang tersebut akan tumpul jiwanya. Biasanya ketumpulan jiwa seseorang selain disebabkan oleh perbuatan badaniah tadi yang tidak terkendali seperti, memandang hal yang terlarang, buruk sangka, mulut yang “berbisa” dan lain-lain.
Bagaimana jiwa yang tumpul tersebut dapat dicerdaskan kembali? Sesuai dengan penyebabnya, maka segala perbuatan badaniah tadi harus dikendalikan secara total. Bahwa pengendalian diri secara total ini hanya dapat dilakukan dengan puasa. Di samping itu, pengendalian badaniah tersebut harus mampu menjadi pengendali segala sifat negatif yang bersemayam dalam diri manusia itu secara tuntas. Di antara sekian banyak sifat negatif manusia, yang mampu menumpulkan kecerdasan jiwa bahkan mampu membunuhnya adalah marah, fitnah, bergunjing, adu domba, dan buruk sangka. Sikap-sikap ini adalah termasuk dalam pantangan keras dalam puasa.
Pertama, marah. Jika sedang marah, maka sebenarnya melepaskan kendali diri (lepas kontrol), menutup akal dari kejernihan berpikir, dan mendorong diri sendiri untuk melakukan tindakan membabi buta.
Kemarahan dapat menutup segenap unsur-unsur kejiwaan dalam diri orang-orang pemarah. Hatinya sudah terpenuhi dengan darah kotor, sehingga hati menjadi buta terhadap realitas serta tidak dapat membedakan mana yang buruk, mana yang benar dan yang salah serta mana yang halal dan mana yang haram. Yang ada dalam jiwa pemarah adalah kepuasan diri secara membabi buta.
Pada saat inilah hati menjadi rancu, akal menjadi kalut, sehingga tidak dapat berpikir jernih. Oleh karena itu, ketika hati telah gelap bahkan buta dan akal telah kalut, mustahil manusia pemarah dapat mengambil sikap dan tindakan secara arif dan bijaksana. Akibatnya, segala ucapannya kotor, tajam dan penuh “racun” yang siap menyayat-nyayat perasaan orang lain. Hal ini masih diperparah oleh tindakannya yang lepas kontrol dan tanpa kendali. Akhirnya seorang pemarah akan melakukan perbuatan tanpa didasarkan pada kejernihan akal pikiran, kebeningan hati, dan lembutnya perasaan. Segala perbuatan orang pemarah mirip dengan perbuatan binatang yang berbuat tanpa akal, hati dan perasaan. Bedanya, jika perilaku binatang bisa dikendalikan oleh manusia yang baik, maka perilaku pemarah hanya bisa dikendalikan oleh iblis, setan dan teman-temannya.
Kedua, fitnah bukan lagi sebagai penumpul jiwa melainkan pembunuh bagi jiwa. Sebab, fitnah merupakan penyakit yang paling akut di antara penyakit yang lain, paling parah di antara penyakit terparah, paling kacau di antara penyakit terkacau, dan penyakit mengerikan di antara yang paling mengerikan. Hampir tidak ada penyakit yang lebih berbahaya, parah, kacau dan mengerikan dari pada fitnah.
Ketika penyakit ini akan membunuh mangsanya, ia akan melakukannya dengan strategi yang paling licik dan kejam serta diluar perasaan kemanusiaan. Hebatnya, ia mampu memakan mangsanya dengan tanpa melukai fisik sedikitpun. Pelan-pelan, tetapi pasti, meyakinkan dan kejam. Inilah kerja penyakit fitnah. Semakin pelan, semakin kejam, semakin licik, maka semakin dahsyat penyakit ini mematikan mangsanya. Ironisnya, ia mematikan bukan hanya di dunia ini, tetapi hingga bertahun-tahun setelah mangsanya meninggal dunia, ia masih tega memperkarakan (mengundat-undat) mangsanya, ‘Audzubillahi min dzalik. Itulah mengapa banyak orang mengatakan bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Pembunuhan akan selesai ketika mangsanya terbunuh. Tetapi fitnah akan membunuh mangsanya hingga ia tewas, kemudian ia masih memperkarakan hingga kapan pun sepeninggalnya dari dunia ini.
Sesuatu yang tanpa disadari kebanyakan orang selama ini adalah, bahwa kinerja fitnah tidak sendirian melainkan secara berkelompok, terorganisir, sistematis dengan rapi dan ada komandannya di sana. Ia senantiasa menggunakan bantuan senjata dan lain sebagainya.
Ketiga, bergunjing. Bergunjing adalah perbuatan yang dilakukan dua orang atau lebih untuk membicarakan kejelekan orang lain, tidak pandang apakah ia saudara, musuh, keluarga, bahkan seiman dan setakwa. Menggunjing merupakan ungkapan seseorang kepada orang lain untuk mengungkap, memperkarakan, bahkan membeberkan aib siapa pun yang ia tidak suka.
Untuk mempertegas pemahaman, perbuatan menggunjing bisa dianalogikan sebagai “makan daging busuk saudara sendiri”. Makan daging busuk adalah perbuatan mengungkap, memperkarakan, bahkan membeberkan dengan mulutnya kepada orang lain, sementara daging busuk adalah aib saudaranya yang ia ungkap, perkarakan, dan beberkan tersebut.
Begitulah lukisan bagi para penggunjing itu. Ia tidak segan dan jijik sedikitpun menikmati daging-daging busuk sesamanya. Seseorang penggunjing tidak akan malu-malu dan tidak ragu sedikitpun memaparkan kejelekan saudaranya sendiri kepada orang lain. Dalam hal ini Imam Ali bin Abi Thalib berkata; “Sesungguhnya perbuatan menggunjing adalah lauk-pauknya neraka“. Sedang orang yang suka menggunjing mempunyai rupa layaknya anjing. Anjing ini memerlukan makanan di neraka jahannam. Maka Imam Husain berkata; “Maka makanannya adalah pergunjingan yang dilakukannya”. Ghibah (menggunjing) akan berubah menjadi kotoran, darah dan nanah. Orang yang biasa menggunjing akan menyantapnya di hadapan para penghuni neraka yang lain, seperti anjing yang memakan bangkai busuk.
Mari kita renungkan bersama-sama ucapan Imam Ali dan Imam Husain di atas. Orang yang melakukan ghibah (bergunjing), secara lahiriah ia berwajah manusia. Tetapi secara batiniah, ia berwajah anjing yang buas, kelaparan, dan rakus sehingga daging yang sudah busuk pun disantapnya. Sedangkan di akhirat kelak, wajah  batiniah tersebut akan mewujud dalam hukuman di neraka jahannam itu.
Ironisnya, pergunjingan dalam kehidupan dan kultur masyarakat kita dianggap sebagai hal yang wajar, biasa, dan hal yang sangat  sederhana. Bahkan, hampir setiap hari selalu ada program siaran televisi yang mempertontonkan pergunjingan secara bebas, meriah bahkan mewah. Mempertontonkan dan menghidangkan daging-daging busuk kepada “anjing-anjing” secara cuma-cuma. Astagfirullah
Keempat, buruk sangka. Sepertinya sederhana, tetapi sesungguhnya penyakit buruk sangka merupakan penyakit jiwa yang pelik lagi rumit. Karena, penyakit ini jauh berbeda dan jauh berbahaya dibandingkan dengan bergunjing. Jika bergunjing, tidak bisa dilakukan secara sendirian, tetapi buruk sangka, ia bisa dilakukan secara sendirian dan belum ada buktinya. Ia merupakan terkaan-terkaan yang mampu menutup mata menggelapkan hati serta bersifat antagonistik untuk mencari kelemahan-kelemahan orang lain.
Bahaya yang paling besar dari penyakit ini adalah jatuhnya buruk sangka pada kesalahan orang yang diburuk sangkai tersebut. Jika hal ini terjadi (salah sangka), maka ia akan jatuh pada fitnah, dan fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Tetapi jika yang diburuksangkakai itu benar maka ia akan jatuh pada lembah ke-anjing-an yang siap memakan daging busuk tadi. Oleh karena itu, buruk sangka baik benar atau salah akan membahayakan pelakunya, yang berujung pada neraka jahannam.
Dengan demikian buruk sangka mengandung dua kemungkinan bahaya besar kematian jiwa. Di satu sisi ia merugikan diri sendiri dengan mengira-ngira, mencari, mengoreksi keburukan orang lain. Dan di sisi yang lain ia akan merugikan jiwa orang lain untuk difitnahnya.
Demikianlah beberapa uraian mengenai hal-hal yang dapat menumpulkan bahkan mematikan kecerdasan jiwa. Baik marah, fitnah, bergunjing dan buruk sangka merupakan sifat negatif manusia yang perlu dikendalikan agar mampu mengangkat harkat dan martabatnya di hadapan Allah SWT.
Apa kaitan antara kecerdasan jiwa dengan  puasa Daud? Dalam ibadah puasa, terdapat banyak aturan dan larangan yang sangat  ketat. Penumpul jiwa di atas (marah, fitnah, bergunjing dan buruk sangka) merupakan hal-hal penting yang dilarang keras dalam puasa. Secara sadar atau tidak, keempat hal tadi selalu mewarnai kehidupan kita, baik siang maupun malam bahkan setiap kita ketemu orang pasti ada peluang ke arah sana.
Oleh karena itu, keempat hal tersebut hanya bisa dikendalikan dengan “sistem” yang mampu melarangnya. “Sistem” tersebut tidak lain dan tidak bukan ialah puasa Daud? Bukan puasa Ramadhan, puasa Senin Kamis atau puasa-puasa sunnah yang lain? Sebab, keempat hal tadi adalah “monster” yang dapat muncul dalam setiap saat, bukan lagi setiap hari. Karena itu, cara membunuhnya pun harus dengan puasa setiap saat pula. Tetapi, puasa setiap saat adalah tidak mungkin dan kalau mungkin itu berarti melanggar sabda Nabi SAW di atas, kecuali puasa sir (rahasia).
Puasa yang paling mendekati dengan puasa setiap saat itu adalah puasa Daud. Jika marah, bergunjing, fitnah dan buruk sangka masih menghiasi kehidupan kita, sementara kita mengimbanginya dengan puasa Daud, maka keempat hal tadi hanya akan muncul dalam hari-hari di saat kita tidak puasa. Itu pun akan cukup terkendali. Pertarungan antara kebiasaan marah, bergunjing, fitnah dan buruk sangka dengan kebiasaan puasa Daud (yang berarti mengendalikan keempat hal tersebut), niscaya akan dimenangkan oleh kebiasaan pengendalian diri atau puasa Daud. Sebab, marah, fitnah,  bergunjing dan buruk sangka tidak muncul dalam setiap hari atau sesering puasa Daud. Dengan kalah tempo antara puasa Daud dengan munculnya keempat hal tersebut, maka kalahlah marah dan teman-temannya, sehingga yang ada hanya diri yang terkendali.
Pada saat itulah jiwa-jiwa manusia merasa mencerdaskan kembali, yang berarti  mampu membedakan mana yang salah dan yang benar, yang halal dan yang haram serta yang baik dan yang buruk. Dengan ridha Allah di atas puasa Daud, maka yang baik, benar, dan halal tersebut akan dengan mudah diikuti, ditegakkan dan diamalkan dalam setiap langkah gerak kehidupannya. Inilah orang yang cerdas jiwanya lagi bertakwa melalui puasa Daud.

source: http://kopda.auliacendekia.com/?page_id=102

Hayooo Siapa Yang Lagi Butuh Pertolongan.

7 Rahasia Mengundang Pertolongan Allah



Rahasia Pertama >> Zikir dan Doa
Rahasia Kedua   >>  Mengabadikan Istighfar
Rahasia Ketiga  >>  Sabar dan Shalat
Rahasia Keempat>>  Menolong Agama Allah
Rahasia Kelima>>  Peduli kepada Sesama
Rahasia Keenam>>  Memelihara Ketakwaan
Rahasia Ketujuh>> Tawakal kepada Allah

Setiap orang pasti memiliki masalah. Dan setiap masalah, pasti ada jalan keluarnya. Sayangnya, banyak yang tidak menyadari sehingga mudah tertimpa stress, bahkan frustasi saat menghadapi sedikit masalah. Adapula yang jatuh ke jalan yang salah; narkoba ataupun paranormal. Padahal, Allah sudah menyiapkan pintu yang akan membukakan datangnya pertolongan-Nya.

Selasa, 10 Juni 2014

Dahsyatnya Energi Sholat Dhuha

Allah Swt., tidak pernah pilih kasih. Di mana pun dan kapan pun, Dia selalu memperhatikan dan mengasihi hamba-Nya. Itulah mengapa ibadah harus dijadikan menu kehidupan sehari-hari oleh umat Islam. Makan nasi tanpa lauk-pauk pastilah terasa hambar. Begitu pun dengan kehidupan. Ketika ibadah kita laksanakan dengan konsisten, innallaha ma`ana, sungguh Allah beserta kita.
Dengan demikian, kita tidak menjadi manusia yang lemah, menyerah pada keadaan, dan malas melakukan pekerjaan. Sebab, seluruh gerak jasad akan dinilai dan mendapat perhatian-Nya. Kita memiliki slogan transformatif: hayatuna kulluha `ibadah (hidup adalah lahan beribadah kepada-Nya).
Dengan ibadah, kecerdasan emosional terasah, produktivitas dan profesionalitas kerja pun dijunjung tinggi. Dan, satu lagi, semua aktivitas pekerjaan ditujukan untuk mendapat ridha-Nya. Untuk itulah, mengapa kita dianjurkan menunaikan shalat Dhuha. Dengan melaksanakan ibadah ini, keuntungan yang diperoleh salah satunva adalah kita mampu menghadapi tantangan dunia kerja dan kenyataan hidup secara dewasa, bijak, tenang, dan tenteram.
Bagi seorang mahasiswa, shalat Dhuha memotivasi dia untuk menjadikan universitas sebagai lahan menuai prestasi. Hubungan dengan orangtua, guru, dosen, dan tetangga juga akan harmonis. Bagi seorang ibu dan ayah, berkeluarga akan menjadi ladang menanam bibit peradaban Islam.
Adapun bagi pengusaha dan karyawan, shalat Dhuha akan menenteramkan keresahan jiwa. Bahkan, yang paling utama, perasaan kita akan terjaga dari keputusasaan karena Tuhan selalu melindungi. Hidup kita pun akan senantiasa dihiasi dengan sikap optimistis dan percaya diri.
Dalam bahasa lain, shalat Dhuha dapat memompa semangat hidup karena ada energi luar biasa di dalamnya. Energi tersebut dapat membuat kita lebih percaya diri, optimistis, kuat, kukuh, teguh, dan berani mengambil keputusan demi kesuksesan. Masih tidak percaya?
Berarti Anda membutuhkan informasi seputar keabsahan dahsyatnya shalat Dhuha, sehingga Anda mampu memahami dan menyelami secara riil ibadah ini. Kemudian, efek positif shalat Dhuha lainnya adalah hidup akan terasa nyata. Salah satu efek positifnya adalah pintu rezeki terbuka lebar sehingga Anda dapat mengoptimalkan perbaikan kondisi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsa.
Ingat, dalam shalat Dhuha terkandung rahasia yang akan terkuak ketika kita mulai mempraktikkannya. Mengapa Rasulullah Saw. gemar melaksanakan shalat Dhuha? Apa saja manfaatnya? Benarkah dengan rutin melaksanakan shalat Dhuha dapat membuka pintu rezeki?
Bagi saya, maksud dibukakan pintu rezeki itu bukan hanya diberi kekayaan dan kesuksesan material. Namun, lebih pada tertanamnya kemampuan untuk mengelola diri agar mendapatkan kecerdasan emosional-spiritual. Ary Ginanjar Agustian menyebutnya dengan istilah Emotional Spiritual Quotient (ESQ).
Shalat Dhuha dapat melatih sisi emosional dan spiritual kita. Dengan kekuatan emosional dan spiritual, tantangan hidup, dunia kerja, atau segala usaha bisnis mampu dikelola dengan baik. Sehingga secara tidak disadari pintu rezeki terbuka lebar.
Rezeki, dalam sebuah kitab klasik, didefinisikan sebagai kullu ma yuntafa u bihi (segala sesuatu yang memiliki nilai manfaat). Mengacu pada definisi ini, tidak salah kalau saya mengategorikan kecerdasan emosional dan spiritual sebagai rezeki yang tiada terkira dari-Nya.
Secara praktis, dua kecerdasan itu dapat diraih dengan rutin menunain ibadah shalat Dhuha. Untuk memperoleh efek dahsyat shalat Dhuha, mulailah latih perasaan kita, cobalah bertanya kepada diri sendiri. Apa saja kesalahan yang pernah kita lakukan kepada orang di sekitar kita? Bagaimana caranya memberikan maaf kepada orang yang pernah menyakiti? Dan yang terpenting, dosa apa yang telah kita perbuat schingga hari-hari terasa tidak nyaman untuk dijalani?
Setelah itu, renungi dan tuliskan dalam secarik kertas daftar kesalahan kita. Cobalah mohon ampunan kepada-Nya. Ambil air, mulailah berwudhu dan dirikanlah shalat Dhuha. Keesokan harinya, mulailah lagi membiasakan diri melaksanakan ibadah sunnah ini. Insya Allah, hati kita akan kembali bening sebening tetesan embun pagi, secerah sinar mentari, dan segemerlap kilauan mutiara di dasar laut.
Selain itu, dengan shalat Dhuha, hidup kita juga akan sukses dan berprestasi. Pada akhirnya, kita akan dengan mudah menggapai segala keinginan, harapan, dan cita-cita dalam hidup. Atau, minimal kita bisa melakukan segala sesuatu dengan tenang, dan tidak gampang marah.Misalnya, bagi pengendara motor, dia tidak mengebut di jalanan ketika ada yang mencoba menyalip. Jika gemar melaksanakan shalat Dhuha, hati kita ini akan penuh dengan ketenangan dan ketenteraman. Masihkah Anda meragukan energi shalat Dhuha?

Sumber : http://www.sholat-dhuha.info/2012/08/dahsyatnya-energi-shalat-dhuha.html#.UZhTVMoxAlg

Senin, 02 Juni 2014

Allah Maha Pemberi Rizki

Ada 4 point dari sifat Allah yaitu Ar Razaq. Dari 4 point ini kita bisa belajar sikap-sikap yang harusnya kita miliki dan harus kita hindari.

1. Kita menjadi tenang dan optimis, karena Allah tidak akan menelantarkan kita. Bahkan yang non islam dan ahli maksiad saja juga diberi Rizki.

2. Kita akan terhindar dari sifat Iri dan Dengki, karena kita yakin setiap mahluk telah dijatah rizkinya oleh Allah.

3. Kita akan berupaya sekuat tenaga dalam menyempurnakan ikhtiar menjemput rezeki, karena rezeki telah ditulis di lauhul mahfuz dan sayangnya tidak ada yang mendapat bocoran tentang rizki.

4. Kita tidak mudah tergoda untuk mencari rezeki dari jalan yang haram seperti mencuri, korupsi atau mengambil hak orang lain, karena kita yakin telah dijamin rizkinya oleh Allah.