Kecerdasan spiritual merupakan puncak manifestasi segala amal ibadah dan perbuatan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari semua orang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Di samping itu, mereka juga tidak lupa “berdoa” memohon kepada Tuhan agar dilancarkan semua urusan dan pekerjaannya tersebut.
Ternyata dalam realitasnya, mereka tidak sekedar kerja keras guna menanggapi apa yang mereka inginkan atau yang mereka cita-citakan. Di samping itu, mereka juga melaksanakan ibadah shalat, bahkan sebagian ada yang berpuasa.
Yang menjadi persoalan adalah apa tujuan mereka melakukan shalat dan puasa? Kalau mereka bekerja dan belajar, jelas tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhannya. Tetapi kalau shalat dan puasa? Minimal ada tiga hal yang mereka harapkan dari shalat dan puasa terkait dengan berbagai hal di atas.
Pertama, shalat dan puasa untuk memenuhi tuntutan beragama. Dalam hal ini, banyak dijumpai umat Islam yang memandang bahwa pengamalan ibadah seperti shalat dan puasa tidak ada hubungannya sama sekali dengan bekerja, belajar, dan prestasi serta kualitas hidup. Umat Islam pada level ini bisa dikatakan memisahkan agama dan ilmu dalam kadar tertentu. Bahwa orang sukses atau tidak merupakan usaha orang tersebut dan tidak pandang ia shalat dan puasa atau tidak. Oleh karena itu golongan ini dengan tegas mengatakan bahwa: “Tidak ada kaitan yang erat antara gagal dan suksesnya seseorang dengan segala bentuk peribadahanya; orang yang gagal dalam menggapai cita-cita bukan karena banyak dosa dan orang yang berhasil mencapai kejayaan dalam hidupnya bukan karena ketaatan pada Tuhan”. Begitulah argumen mereka dalam memisahkan antara akal dan wahyu, ilmu dan agama, serta amal dan iman.
Tidak cukup dengan argumentasi di atas, mereka mampu menunjukan bukti empiris-rasionalistik. Banyak penjahat yang hidupnya jauh lebih baik daripada muslim pada umumnya; banyak orang tidak kenal dengan shalat dan puasa tetapi mereka mampu membangun kehidupan selayaknya seorang yang tekun di masjid dan mushalla; banyak di antara umat Islam yang tanpa shalat dan puasa tetapi mereka berkehidupan mewah dan bahagia sesuai dengan apa yang mereka cita-citakan selama ini; bahkan banyak orang kafir yang sejahtera dan berkemakmuran dibandingkan dengan umat Islam yang menegakan shalat dan puasa.
Menurut mereka jika di antara umat Islam yang menegakan shalat dan puasa maka ia sesungguhnya tertipu oleh akalnya yang kurang beres. Minimal, orang ini dipandang sebagai mencampur adukan akal dan wahyu, ilmu dan agama, serta amal dan iman. Di mana kedua jenis hal tersebut sangat berbeda jauh baik secara asal muasalnya maupun cara pengalamannya.
Wahyu, agama dan iman merupakan hal yang berasal dari alam ghaib yang diciptakan Allah, sedangkan akal, amal dan ilmu, merupakan keniscayaan dalam diri manusia di dunia ini serta bersifat indrawi. Oleh karena itu, mereka sampai pada kesimpulan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang dapat memisahkan antara ilmu dan agama, akal dan wahyu serta amal dan iman.
Kedua, shalat dan puasa sebagai sarana prestasi. Lain dengan kelompok pertama di atas, umat Islam pada kelompok ini memandang bahwa: “Ada hubungan yang signifikan antara ilmu dan agama,akal dan wahyu serta amal dan iman”. Mereka berpendapat semakin taat manusia beribadah kepada Allah, maka semakin mudah ia dalam meraih apa yang dicita-citakannya baik di dunia dan di akhirat nanti. Jika ada di antara umat Islam yang tekun beribadah tetapi tidak bahagia dan sukses dalam menjalani kehidupan, maka ada sesuatu yang salah dalam ibadahnya tersebut.
Demikian juga jika ada di antara umat Islam yang kurang tekun beribadah tetapi hidupnya sukses dan bahagia, maka ada sesuatu yang salah dalam upaya menggapai kebahagiaan dan kesuksesan tersebut. Sesuatu yang salah tersebut disebabkan oleh kurang taatnya beribadah seseorang kepada Allah.
Sedangkan jika ada di antara umat Islam yang kurang tekun beribadah dan kurang bahagia serta kurang sukses, maka kedua-duanya (ibadah dan usaha) ada sesuatu yang salah. Dan apabila banyak di antara umat Islam yang taat beribadah serta hidupnya bahagia, sakinah berkeluarga, serta sukses menggapai cita-cita, maka hal itu disebabkan oleh ibadahnya yang tekun serta usahanya yang keras.
Oleh karena itu, mereka sampai pada kesimpulan bahwa; “jika ibadah dan ketaatannya kepada Allah kurang maka kebahagiaan dan kesuksesannya juga kurang. Demikian juga, jika usahanya dalam menggapai cita-cita kebahagiaan itu dengan sungguh-sungguh dan tekun, diiringi dengan tekunnya ibadah, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan”.
Ketiga, shalat dan puasa sebagai manifestasi kerja dan profesi. Di samping kedua pandangan di atas, ada pandangan lain terhadap ibadah shalat dan puasa, berkaitan dengan pekerjaan dan profesi hidup. Pandangan kelompok ini merupakan kebalikan dari pandangan pertama dan kedua di atas. Dalam pandangan ketiga ini, memahami pekerjaan dan profesi merupakan hal yang “sama” dengan shalat dan puasa. Dengan kata lain, segala sesuatu yang dilakukan manusia merupakan bentuk peribadahan kepada Tuhan. Yang membedakan hanyalah hukum (sunnah atau wajibnya) serta kedudukannya di sisi Allah.
Mereka memandang bahwa kesuksesan dan kebahagiaan hidup tidak ada artinya jika tidak diimbangi dengan ketaatan beribadah. Demikian juga, ibadah yang tekun akan mudah goyah dan tergelincir oleh malasnya bekerja yang berujung pada kemiskinan dan penderitaan hidup. Ibadah dan ikhtiar harus diseimbangkan dalam ranah kemanusiaan, sehingga umat islam dapat menikmati hidup yang bahagia di atas ketundukan penuh kepada Allah SWT.
Dari ketiga pandangan di atas, hanya pandangan ketigalah yang merupakan kecerdasan spiritual. Bagaimana orang mampu mencapai kemampuan untuk menyamakan antara pekerjaan dengan ibadah dan profesi kerja. Hal ini akan mudah dicapai manakala seseorang telah mampu mengendalikan diri secara kontinue dan mencerdaskan jiwanya telebih dahulu.
Konsep kecerdasan jiwa menunjukan bahwa hal tersebut hanya bisa dicapai dengan puasa Daud. Mengapa demikian? Sebab puasa Daud dilakukan dalam sepanjang tahun dan dalam waktu yang jaraknya sangat pendek, yakni sehari semalam. Demikian pula dengan pekerjaan dan profesi manusia. Pekerjaan dilakukan bahkan tiap hari.
Adapun pengendalian diri dalam puasa adalah perjuangan membersihkan diri dari kotornya pekerjaan dan profesi yang ditimbulkan oleh multi interaksi dengan sesama manusia. Perpaduan kedua perjuangan inilah yang mampu mengantarkan manusia menuju puncak spiritualitas keimanan, yang dalam hal ini disebut sebagai kecerdasan spiritual.
Dalam konteks ini, orang tidak lagi memandang untuk apa ia berbuat ini dan itu, mengapa harus begini dan begitu serta hal-hal lain yang ia kerjakan. Tetapi yang ia pandang hanyalah Allah yang menempati ini dan itu tadi serta Allah lah yang memerintahkannya harus begini dan begitu. Dengan pemahaman semacam ini seseorang yang beribadah kepada-Nya, termasuk puasa Daud tidak lagi berharap kesejahteraan, kebahagiaan dan kesuksesan, bahkan surga dan neraka sekalipun. Yang ia harapkan tidak lain adalah “bersatu” dengan-Nya.
Puasa Daud yang telah mengkristal dalam kecerdasan spiritual akan menjadikan pelakunya sebagai hamba yang “patuh tanpa syarat”. Ia takut kepada-Nya bukan karena Dia berkuasa atas neraka dan segala laknat-Nya. Ia mencintai-Nya bukan karena Allah menggenggam surga dengan segala keindahannya. Tetapi ia telah lepas dari rasa “cinta” dan “takut” tersebut lalu menjelma sebagai ke-“Aku”-an yang agung. Artinya, kecerdasan spiritual yang ditimbulkan oleh pengkristalan puasa Daud tersebut telah menurunkan sifat-sifat Allah dalam dirinya. Ia mampu memaafkan siapapun yang berbuat fitnah kepadanya, sabar terhadap segala kezaliman atas dirinya, dermawan dan penyayang terhadap sesamanya.
Ia laksana “Tuhan” yang turun dari singgasana langit untuk menunjukan ke-Maha Agug-annya. Orang yang mempunyai kecerdasan spiritual, adalah orang yang mampu bersikap, berbuat, dan berlaku sebagaimana Allah bersikap dan berbuat dalam kapasitasnya sebagaimana manusia. Pengendalian diri dengan cara puasa Daud, adalah titik awal menuju kecerdasan jiwa, dan kecerdasan jiwa inilah yang akan membawa manusia menuju puncak kecerdasan spiritual.
source : http://kopda.auliacendekia.com/?page_id=104
Ternyata dalam realitasnya, mereka tidak sekedar kerja keras guna menanggapi apa yang mereka inginkan atau yang mereka cita-citakan. Di samping itu, mereka juga melaksanakan ibadah shalat, bahkan sebagian ada yang berpuasa.
Yang menjadi persoalan adalah apa tujuan mereka melakukan shalat dan puasa? Kalau mereka bekerja dan belajar, jelas tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhannya. Tetapi kalau shalat dan puasa? Minimal ada tiga hal yang mereka harapkan dari shalat dan puasa terkait dengan berbagai hal di atas.
Pertama, shalat dan puasa untuk memenuhi tuntutan beragama. Dalam hal ini, banyak dijumpai umat Islam yang memandang bahwa pengamalan ibadah seperti shalat dan puasa tidak ada hubungannya sama sekali dengan bekerja, belajar, dan prestasi serta kualitas hidup. Umat Islam pada level ini bisa dikatakan memisahkan agama dan ilmu dalam kadar tertentu. Bahwa orang sukses atau tidak merupakan usaha orang tersebut dan tidak pandang ia shalat dan puasa atau tidak. Oleh karena itu golongan ini dengan tegas mengatakan bahwa: “Tidak ada kaitan yang erat antara gagal dan suksesnya seseorang dengan segala bentuk peribadahanya; orang yang gagal dalam menggapai cita-cita bukan karena banyak dosa dan orang yang berhasil mencapai kejayaan dalam hidupnya bukan karena ketaatan pada Tuhan”. Begitulah argumen mereka dalam memisahkan antara akal dan wahyu, ilmu dan agama, serta amal dan iman.
Tidak cukup dengan argumentasi di atas, mereka mampu menunjukan bukti empiris-rasionalistik. Banyak penjahat yang hidupnya jauh lebih baik daripada muslim pada umumnya; banyak orang tidak kenal dengan shalat dan puasa tetapi mereka mampu membangun kehidupan selayaknya seorang yang tekun di masjid dan mushalla; banyak di antara umat Islam yang tanpa shalat dan puasa tetapi mereka berkehidupan mewah dan bahagia sesuai dengan apa yang mereka cita-citakan selama ini; bahkan banyak orang kafir yang sejahtera dan berkemakmuran dibandingkan dengan umat Islam yang menegakan shalat dan puasa.
Menurut mereka jika di antara umat Islam yang menegakan shalat dan puasa maka ia sesungguhnya tertipu oleh akalnya yang kurang beres. Minimal, orang ini dipandang sebagai mencampur adukan akal dan wahyu, ilmu dan agama, serta amal dan iman. Di mana kedua jenis hal tersebut sangat berbeda jauh baik secara asal muasalnya maupun cara pengalamannya.
Wahyu, agama dan iman merupakan hal yang berasal dari alam ghaib yang diciptakan Allah, sedangkan akal, amal dan ilmu, merupakan keniscayaan dalam diri manusia di dunia ini serta bersifat indrawi. Oleh karena itu, mereka sampai pada kesimpulan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang dapat memisahkan antara ilmu dan agama, akal dan wahyu serta amal dan iman.
Kedua, shalat dan puasa sebagai sarana prestasi. Lain dengan kelompok pertama di atas, umat Islam pada kelompok ini memandang bahwa: “Ada hubungan yang signifikan antara ilmu dan agama,akal dan wahyu serta amal dan iman”. Mereka berpendapat semakin taat manusia beribadah kepada Allah, maka semakin mudah ia dalam meraih apa yang dicita-citakannya baik di dunia dan di akhirat nanti. Jika ada di antara umat Islam yang tekun beribadah tetapi tidak bahagia dan sukses dalam menjalani kehidupan, maka ada sesuatu yang salah dalam ibadahnya tersebut.
Demikian juga jika ada di antara umat Islam yang kurang tekun beribadah tetapi hidupnya sukses dan bahagia, maka ada sesuatu yang salah dalam upaya menggapai kebahagiaan dan kesuksesan tersebut. Sesuatu yang salah tersebut disebabkan oleh kurang taatnya beribadah seseorang kepada Allah.
Sedangkan jika ada di antara umat Islam yang kurang tekun beribadah dan kurang bahagia serta kurang sukses, maka kedua-duanya (ibadah dan usaha) ada sesuatu yang salah. Dan apabila banyak di antara umat Islam yang taat beribadah serta hidupnya bahagia, sakinah berkeluarga, serta sukses menggapai cita-cita, maka hal itu disebabkan oleh ibadahnya yang tekun serta usahanya yang keras.
Oleh karena itu, mereka sampai pada kesimpulan bahwa; “jika ibadah dan ketaatannya kepada Allah kurang maka kebahagiaan dan kesuksesannya juga kurang. Demikian juga, jika usahanya dalam menggapai cita-cita kebahagiaan itu dengan sungguh-sungguh dan tekun, diiringi dengan tekunnya ibadah, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan”.
Ketiga, shalat dan puasa sebagai manifestasi kerja dan profesi. Di samping kedua pandangan di atas, ada pandangan lain terhadap ibadah shalat dan puasa, berkaitan dengan pekerjaan dan profesi hidup. Pandangan kelompok ini merupakan kebalikan dari pandangan pertama dan kedua di atas. Dalam pandangan ketiga ini, memahami pekerjaan dan profesi merupakan hal yang “sama” dengan shalat dan puasa. Dengan kata lain, segala sesuatu yang dilakukan manusia merupakan bentuk peribadahan kepada Tuhan. Yang membedakan hanyalah hukum (sunnah atau wajibnya) serta kedudukannya di sisi Allah.
Mereka memandang bahwa kesuksesan dan kebahagiaan hidup tidak ada artinya jika tidak diimbangi dengan ketaatan beribadah. Demikian juga, ibadah yang tekun akan mudah goyah dan tergelincir oleh malasnya bekerja yang berujung pada kemiskinan dan penderitaan hidup. Ibadah dan ikhtiar harus diseimbangkan dalam ranah kemanusiaan, sehingga umat islam dapat menikmati hidup yang bahagia di atas ketundukan penuh kepada Allah SWT.
Dari ketiga pandangan di atas, hanya pandangan ketigalah yang merupakan kecerdasan spiritual. Bagaimana orang mampu mencapai kemampuan untuk menyamakan antara pekerjaan dengan ibadah dan profesi kerja. Hal ini akan mudah dicapai manakala seseorang telah mampu mengendalikan diri secara kontinue dan mencerdaskan jiwanya telebih dahulu.
Konsep kecerdasan jiwa menunjukan bahwa hal tersebut hanya bisa dicapai dengan puasa Daud. Mengapa demikian? Sebab puasa Daud dilakukan dalam sepanjang tahun dan dalam waktu yang jaraknya sangat pendek, yakni sehari semalam. Demikian pula dengan pekerjaan dan profesi manusia. Pekerjaan dilakukan bahkan tiap hari.
Adapun pengendalian diri dalam puasa adalah perjuangan membersihkan diri dari kotornya pekerjaan dan profesi yang ditimbulkan oleh multi interaksi dengan sesama manusia. Perpaduan kedua perjuangan inilah yang mampu mengantarkan manusia menuju puncak spiritualitas keimanan, yang dalam hal ini disebut sebagai kecerdasan spiritual.
Dalam konteks ini, orang tidak lagi memandang untuk apa ia berbuat ini dan itu, mengapa harus begini dan begitu serta hal-hal lain yang ia kerjakan. Tetapi yang ia pandang hanyalah Allah yang menempati ini dan itu tadi serta Allah lah yang memerintahkannya harus begini dan begitu. Dengan pemahaman semacam ini seseorang yang beribadah kepada-Nya, termasuk puasa Daud tidak lagi berharap kesejahteraan, kebahagiaan dan kesuksesan, bahkan surga dan neraka sekalipun. Yang ia harapkan tidak lain adalah “bersatu” dengan-Nya.
Puasa Daud yang telah mengkristal dalam kecerdasan spiritual akan menjadikan pelakunya sebagai hamba yang “patuh tanpa syarat”. Ia takut kepada-Nya bukan karena Dia berkuasa atas neraka dan segala laknat-Nya. Ia mencintai-Nya bukan karena Allah menggenggam surga dengan segala keindahannya. Tetapi ia telah lepas dari rasa “cinta” dan “takut” tersebut lalu menjelma sebagai ke-“Aku”-an yang agung. Artinya, kecerdasan spiritual yang ditimbulkan oleh pengkristalan puasa Daud tersebut telah menurunkan sifat-sifat Allah dalam dirinya. Ia mampu memaafkan siapapun yang berbuat fitnah kepadanya, sabar terhadap segala kezaliman atas dirinya, dermawan dan penyayang terhadap sesamanya.
Ia laksana “Tuhan” yang turun dari singgasana langit untuk menunjukan ke-Maha Agug-annya. Orang yang mempunyai kecerdasan spiritual, adalah orang yang mampu bersikap, berbuat, dan berlaku sebagaimana Allah bersikap dan berbuat dalam kapasitasnya sebagaimana manusia. Pengendalian diri dengan cara puasa Daud, adalah titik awal menuju kecerdasan jiwa, dan kecerdasan jiwa inilah yang akan membawa manusia menuju puncak kecerdasan spiritual.
source : http://kopda.auliacendekia.com/?page_id=104
Tidak ada komentar:
Posting Komentar