Menurut Muhammad Muhyidin, jiwa diartikan sebagai persatuan atau gabungan antara roh dan tubuh ketika manusia masih berada dalam alam kandungan.Menurutnya, bahwa roh bersifat suci, sebagaimana Allah menghendakinya, sedangkan jasad atau tubuh bersifat tidak suci. Jadi jiwa adalah gabungan dua entitas, yakni kesucian roh dan ketidaksucian tubuh. Dengan demikian, jiwa bisa bersifat suci, atau bersifat tidak suci, atau gabungan antara suci dan tidak suci tersebut.
Di sini tidak akan dibahas jiwa secara mendetail melainkan akan dikemukakan kecerdasan jiwa yang ditimbulkan oleh kedahsyatan puasa Daud.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (Q.S. Al-A’raf:172)
Karena sifatnya yang demikian, maka jiwa merupakan entitas yang bisa terkontaminasi oleh penggunaan indra secara dominan. Artinya, jiwa akan menjadi tumpul jika ia tidak lagi mencerminkan kesucian roh, dan didominasi oleh ketidaksucian tubuh.
Tegasnya, jika ada orang dalam hidupnya hanya mementingkan kebutuhan badaniah semata, dan mengabaikan kepentingan batiniah (kebahagiaan, ketenangan, kedamaian, dan lain-lain), maka orang tersebut akan tumpul jiwanya. Biasanya ketumpulan jiwa seseorang selain disebabkan oleh perbuatan badaniah tadi yang tidak terkendali seperti, memandang hal yang terlarang, buruk sangka, mulut yang “berbisa” dan lain-lain.
Bagaimana jiwa yang tumpul tersebut dapat dicerdaskan kembali? Sesuai dengan penyebabnya, maka segala perbuatan badaniah tadi harus dikendalikan secara total. Bahwa pengendalian diri secara total ini hanya dapat dilakukan dengan puasa. Di samping itu, pengendalian badaniah tersebut harus mampu menjadi pengendali segala sifat negatif yang bersemayam dalam diri manusia itu secara tuntas. Di antara sekian banyak sifat negatif manusia, yang mampu menumpulkan kecerdasan jiwa bahkan mampu membunuhnya adalah marah, fitnah, bergunjing, adu domba, dan buruk sangka. Sikap-sikap ini adalah termasuk dalam pantangan keras dalam puasa.
Pertama, marah. Jika sedang marah, maka sebenarnya melepaskan kendali diri (lepas kontrol), menutup akal dari kejernihan berpikir, dan mendorong diri sendiri untuk melakukan tindakan membabi buta.
Kemarahan dapat menutup segenap unsur-unsur kejiwaan dalam diri orang-orang pemarah. Hatinya sudah terpenuhi dengan darah kotor, sehingga hati menjadi buta terhadap realitas serta tidak dapat membedakan mana yang buruk, mana yang benar dan yang salah serta mana yang halal dan mana yang haram. Yang ada dalam jiwa pemarah adalah kepuasan diri secara membabi buta.
Pada saat inilah hati menjadi rancu, akal menjadi kalut, sehingga tidak dapat berpikir jernih. Oleh karena itu, ketika hati telah gelap bahkan buta dan akal telah kalut, mustahil manusia pemarah dapat mengambil sikap dan tindakan secara arif dan bijaksana. Akibatnya, segala ucapannya kotor, tajam dan penuh “racun” yang siap menyayat-nyayat perasaan orang lain. Hal ini masih diperparah oleh tindakannya yang lepas kontrol dan tanpa kendali. Akhirnya seorang pemarah akan melakukan perbuatan tanpa didasarkan pada kejernihan akal pikiran, kebeningan hati, dan lembutnya perasaan. Segala perbuatan orang pemarah mirip dengan perbuatan binatang yang berbuat tanpa akal, hati dan perasaan. Bedanya, jika perilaku binatang bisa dikendalikan oleh manusia yang baik, maka perilaku pemarah hanya bisa dikendalikan oleh iblis, setan dan teman-temannya.
Kedua, fitnah bukan lagi sebagai penumpul jiwa melainkan pembunuh bagi jiwa. Sebab, fitnah merupakan penyakit yang paling akut di antara penyakit yang lain, paling parah di antara penyakit terparah, paling kacau di antara penyakit terkacau, dan penyakit mengerikan di antara yang paling mengerikan. Hampir tidak ada penyakit yang lebih berbahaya, parah, kacau dan mengerikan dari pada fitnah.
Ketika penyakit ini akan membunuh mangsanya, ia akan melakukannya dengan strategi yang paling licik dan kejam serta diluar perasaan kemanusiaan. Hebatnya, ia mampu memakan mangsanya dengan tanpa melukai fisik sedikitpun. Pelan-pelan, tetapi pasti, meyakinkan dan kejam. Inilah kerja penyakit fitnah. Semakin pelan, semakin kejam, semakin licik, maka semakin dahsyat penyakit ini mematikan mangsanya. Ironisnya, ia mematikan bukan hanya di dunia ini, tetapi hingga bertahun-tahun setelah mangsanya meninggal dunia, ia masih tega memperkarakan (mengundat-undat) mangsanya, ‘Audzubillahi min dzalik. Itulah mengapa banyak orang mengatakan bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Pembunuhan akan selesai ketika mangsanya terbunuh. Tetapi fitnah akan membunuh mangsanya hingga ia tewas, kemudian ia masih memperkarakan hingga kapan pun sepeninggalnya dari dunia ini.
Sesuatu yang tanpa disadari kebanyakan orang selama ini adalah, bahwa kinerja fitnah tidak sendirian melainkan secara berkelompok, terorganisir, sistematis dengan rapi dan ada komandannya di sana. Ia senantiasa menggunakan bantuan senjata dan lain sebagainya.
Ketiga, bergunjing. Bergunjing adalah perbuatan yang dilakukan dua orang atau lebih untuk membicarakan kejelekan orang lain, tidak pandang apakah ia saudara, musuh, keluarga, bahkan seiman dan setakwa. Menggunjing merupakan ungkapan seseorang kepada orang lain untuk mengungkap, memperkarakan, bahkan membeberkan aib siapa pun yang ia tidak suka.
Untuk mempertegas pemahaman, perbuatan menggunjing bisa dianalogikan sebagai “makan daging busuk saudara sendiri”. Makan daging busuk adalah perbuatan mengungkap, memperkarakan, bahkan membeberkan dengan mulutnya kepada orang lain, sementara daging busuk adalah aib saudaranya yang ia ungkap, perkarakan, dan beberkan tersebut.
Begitulah lukisan bagi para penggunjing itu. Ia tidak segan dan jijik sedikitpun menikmati daging-daging busuk sesamanya. Seseorang penggunjing tidak akan malu-malu dan tidak ragu sedikitpun memaparkan kejelekan saudaranya sendiri kepada orang lain. Dalam hal ini Imam Ali bin Abi Thalib berkata; “Sesungguhnya perbuatan menggunjing adalah lauk-pauknya neraka“. Sedang orang yang suka menggunjing mempunyai rupa layaknya anjing. Anjing ini memerlukan makanan di neraka jahannam. Maka Imam Husain berkata; “Maka makanannya adalah pergunjingan yang dilakukannya”. Ghibah (menggunjing) akan berubah menjadi kotoran, darah dan nanah. Orang yang biasa menggunjing akan menyantapnya di hadapan para penghuni neraka yang lain, seperti anjing yang memakan bangkai busuk.
Mari kita renungkan bersama-sama ucapan Imam Ali dan Imam Husain di atas. Orang yang melakukan ghibah (bergunjing), secara lahiriah ia berwajah manusia. Tetapi secara batiniah, ia berwajah anjing yang buas, kelaparan, dan rakus sehingga daging yang sudah busuk pun disantapnya. Sedangkan di akhirat kelak, wajah  batiniah tersebut akan mewujud dalam hukuman di neraka jahannam itu.
Ironisnya, pergunjingan dalam kehidupan dan kultur masyarakat kita dianggap sebagai hal yang wajar, biasa, dan hal yang sangat  sederhana. Bahkan, hampir setiap hari selalu ada program siaran televisi yang mempertontonkan pergunjingan secara bebas, meriah bahkan mewah. Mempertontonkan dan menghidangkan daging-daging busuk kepada “anjing-anjing” secara cuma-cuma. Astagfirullah
Keempat, buruk sangka. Sepertinya sederhana, tetapi sesungguhnya penyakit buruk sangka merupakan penyakit jiwa yang pelik lagi rumit. Karena, penyakit ini jauh berbeda dan jauh berbahaya dibandingkan dengan bergunjing. Jika bergunjing, tidak bisa dilakukan secara sendirian, tetapi buruk sangka, ia bisa dilakukan secara sendirian dan belum ada buktinya. Ia merupakan terkaan-terkaan yang mampu menutup mata menggelapkan hati serta bersifat antagonistik untuk mencari kelemahan-kelemahan orang lain.
Bahaya yang paling besar dari penyakit ini adalah jatuhnya buruk sangka pada kesalahan orang yang diburuk sangkai tersebut. Jika hal ini terjadi (salah sangka), maka ia akan jatuh pada fitnah, dan fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Tetapi jika yang diburuksangkakai itu benar maka ia akan jatuh pada lembah ke-anjing-an yang siap memakan daging busuk tadi. Oleh karena itu, buruk sangka baik benar atau salah akan membahayakan pelakunya, yang berujung pada neraka jahannam.
Dengan demikian buruk sangka mengandung dua kemungkinan bahaya besar kematian jiwa. Di satu sisi ia merugikan diri sendiri dengan mengira-ngira, mencari, mengoreksi keburukan orang lain. Dan di sisi yang lain ia akan merugikan jiwa orang lain untuk difitnahnya.
Demikianlah beberapa uraian mengenai hal-hal yang dapat menumpulkan bahkan mematikan kecerdasan jiwa. Baik marah, fitnah, bergunjing dan buruk sangka merupakan sifat negatif manusia yang perlu dikendalikan agar mampu mengangkat harkat dan martabatnya di hadapan Allah SWT.
Apa kaitan antara kecerdasan jiwa dengan  puasa Daud? Dalam ibadah puasa, terdapat banyak aturan dan larangan yang sangat  ketat. Penumpul jiwa di atas (marah, fitnah, bergunjing dan buruk sangka) merupakan hal-hal penting yang dilarang keras dalam puasa. Secara sadar atau tidak, keempat hal tadi selalu mewarnai kehidupan kita, baik siang maupun malam bahkan setiap kita ketemu orang pasti ada peluang ke arah sana.
Oleh karena itu, keempat hal tersebut hanya bisa dikendalikan dengan “sistem” yang mampu melarangnya. “Sistem” tersebut tidak lain dan tidak bukan ialah puasa Daud? Bukan puasa Ramadhan, puasa Senin Kamis atau puasa-puasa sunnah yang lain? Sebab, keempat hal tadi adalah “monster” yang dapat muncul dalam setiap saat, bukan lagi setiap hari. Karena itu, cara membunuhnya pun harus dengan puasa setiap saat pula. Tetapi, puasa setiap saat adalah tidak mungkin dan kalau mungkin itu berarti melanggar sabda Nabi SAW di atas, kecuali puasa sir (rahasia).
Puasa yang paling mendekati dengan puasa setiap saat itu adalah puasa Daud. Jika marah, bergunjing, fitnah dan buruk sangka masih menghiasi kehidupan kita, sementara kita mengimbanginya dengan puasa Daud, maka keempat hal tadi hanya akan muncul dalam hari-hari di saat kita tidak puasa. Itu pun akan cukup terkendali. Pertarungan antara kebiasaan marah, bergunjing, fitnah dan buruk sangka dengan kebiasaan puasa Daud (yang berarti mengendalikan keempat hal tersebut), niscaya akan dimenangkan oleh kebiasaan pengendalian diri atau puasa Daud. Sebab, marah, fitnah,  bergunjing dan buruk sangka tidak muncul dalam setiap hari atau sesering puasa Daud. Dengan kalah tempo antara puasa Daud dengan munculnya keempat hal tersebut, maka kalahlah marah dan teman-temannya, sehingga yang ada hanya diri yang terkendali.
Pada saat itulah jiwa-jiwa manusia merasa mencerdaskan kembali, yang berarti  mampu membedakan mana yang salah dan yang benar, yang halal dan yang haram serta yang baik dan yang buruk. Dengan ridha Allah di atas puasa Daud, maka yang baik, benar, dan halal tersebut akan dengan mudah diikuti, ditegakkan dan diamalkan dalam setiap langkah gerak kehidupannya. Inilah orang yang cerdas jiwanya lagi bertakwa melalui puasa Daud.

source: http://kopda.auliacendekia.com/?page_id=102