Mas Habib Chirzin, mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah, pernah punya
pengalaman menarik. Sewaktu berada di Mekkah, ia bertemu dengan Raja
Ternate. Dan raja itu membawa berita amat menarik. Katanya, di Mekkah ia
bertemu dengan Nyi Roro Kidul yang sedang melaksanakan ibadah haji.
Gelar haji Nyi Roro Kidul adalah Hajjah Syarifah.
Berita Nyi Roro Kidul yang sudah hajjah ini ternyata sudah lama tersebar di antara orang-orang Jawa yang punya "linuwih". Dan apa yang diceritakan Raja Ternate kepada Habib Chirzin ini ternyata dibenarkan orang-orang linuwih itu. "Benar, Mas. Saya juga sudah diberitahu bahwa Kanjeng Ratu sudah naik haji dan bernama Hajjah Syarifah," kata Mbak Ajeng, seorang wanita yang mengaku sering berkomunikasi dengan Nyi Roro Kidul.
Dampak berita Nyi Roro Kidul masuk Islam ini luar biasa di kalangan orang-orang Jawa yang masih mempercayai legenda sang nyai. Di lereng Gunung Lawu --gunung yang dikenal sebagai tempat para dukun sakti-- dukun-dukun wanita kalau mau menghadap Nyi Roro Kidul akan memakai pakaian muslim lengkap dengan jilbabnya. Mereka merasa malu kalau pakai kemben atau kebaya yang dianggapnya belum mencerminkan busana muslim.
Dampak lanjutannya: karena orang-orang linuwih menyatakan bahwa Nyi Roro Kidul masuk Islam, maka orang-orang Jawa yang tinggal di sekitar Gunung Lawu mulai belajar Islam. Pada waktu saya berkunjung ke sebuah desa di lereng Gunung Lawu, memang terlihat orang-orang tua di sana sudah banyak yang memakai jilbab.
Lepas dari benar-tidaknya "berita" itu, cerita masuk Islamnya Nyi Roro Kidul seakan membenarkan tesis Ricklefs bahwa sejarah Islamisasi di Jawa sangat kompleks. Sejak Islam datang ke Jawa 600 tahun lalu, banyak sekali kejutan dalam proses Islamisasi di Jawa dan kondisi itu terus berjalan secara tidak linier. Memang sulit membayangkan bagaimana proses Islamisasi muncul dengan kisah mistis macam itu. Tapi, faktanya, hal itu terjadi dan dampaknya sangat fenomenal dalam kehidupan orang Jawa.
Berita masuk Islamnya Nyi Roro Kidul dan dampaknya terhadap proses Islamisasi yang mengejutkan mungkin --dalam fase tertentu-- mirip dengan jadi santrinya Pak Harto. Peneliti Islam Jawa dari Barat niscaya tidak bisa membayangkan, bagaimana priayi abangan (Geertz) semacam Pak Harto yang juga abangan military general (Samson) tiba-tiba membangun masjid megah At-Tien di Taman Mini dan membangun 999 masjid di seluruh Indonesia melalui Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila-nya.
Di sisi lain, cerita masuk Islamnya Nyi Roro Kidul yang sangat tidak rasional itu menunjukkan, tesis Wright Mills bahwa kekuatan modernisasi dan sekularisasi akan menyapu mistisisme dan sakralisme dari kehidupan manusia pasca-Renaisans ternyata tidak terbukti. Pippa Noris dan Ronald Inglehart dalam bukunya, Sacred and Secular --Religion and Politics Worldwide, mengulas bagaimana para pemikir besar seperti Auguste Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim, Max Weber, Karl Marx, dan Sigmund Freud yang memprediksi bahwa agama akan hilang setelah munculnya masyarakat industri sekarang harus melihat kenyataan sebaliknya. Agama ternyata makin hidup dan merobohkan teori-teori dasar sekularisasi yang meramalkan habisnya sakralisasi di dunia modern.
Di sebuah desa di Lampung, misalnya, Majelis Ulama Indonesia pernah bercerita bagaimana "jin-jin" berperan besar dalam mengkristenkan masyarakat desa di sana --sebagaimana Nyi Roro Kidul mengislamkan orang-orang abangan di lereng Gunung Lawu. Di Eropa, Amerika, Jepang, bahkan di Cina, antusiasme masyarakat dalam mengikuti agama makin kuat. Pada saat ini, di abad ke-21, meminjam istilah Nancy Rosenblum, kewajiban berkewarganegaraan makin bergesekan dengan kewajiban keberimanan. Di Jepang, peluncuran mobil model terbaru Mazda, misalnya, pernah dilakukan di kuil dengan persembahan model agama Shinto kuno.
Melihat kondisi ini, Berger mau bersikap jujur. Ia sempat mengungkapkan, tidak ada salahnya jika para sosiolog mengakui bahwa teorinya salah. "Toh, kita ini sosiolog yang kesalahannya akan lebih mudah dimaafkan dibandingkan dengan kesalahan para teolog," tulis Berger (Sekularisasi Ditinjau Kembali, Pustaka Alvabet, 2009).
Dari gambaran tersebut, cerita aneh Nyi Roro Kidul masuk Islam di atas bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Cerita itu muncul berbarengan dengan tumbuhnya transisi pemikiran yang mulai menyangkal teori-teori sosiologi yang selama ini dianggap modern. Fenomena ini ternyata tak hanya muncul di Jawa, melainkan juga di seluruh dunia. Agama kembali bangkit dan membuktikan eksistensinya di tengah gempuran teori sosiologi modern yang menihilkannya.
Oleh: M. Bambang Pranowo (Guru Besar Sosiologi Agama UIN Jakarta & Direktur Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian)
Source : fb Islam Nusantara
Berita Nyi Roro Kidul yang sudah hajjah ini ternyata sudah lama tersebar di antara orang-orang Jawa yang punya "linuwih". Dan apa yang diceritakan Raja Ternate kepada Habib Chirzin ini ternyata dibenarkan orang-orang linuwih itu. "Benar, Mas. Saya juga sudah diberitahu bahwa Kanjeng Ratu sudah naik haji dan bernama Hajjah Syarifah," kata Mbak Ajeng, seorang wanita yang mengaku sering berkomunikasi dengan Nyi Roro Kidul.
Dampak berita Nyi Roro Kidul masuk Islam ini luar biasa di kalangan orang-orang Jawa yang masih mempercayai legenda sang nyai. Di lereng Gunung Lawu --gunung yang dikenal sebagai tempat para dukun sakti-- dukun-dukun wanita kalau mau menghadap Nyi Roro Kidul akan memakai pakaian muslim lengkap dengan jilbabnya. Mereka merasa malu kalau pakai kemben atau kebaya yang dianggapnya belum mencerminkan busana muslim.
Dampak lanjutannya: karena orang-orang linuwih menyatakan bahwa Nyi Roro Kidul masuk Islam, maka orang-orang Jawa yang tinggal di sekitar Gunung Lawu mulai belajar Islam. Pada waktu saya berkunjung ke sebuah desa di lereng Gunung Lawu, memang terlihat orang-orang tua di sana sudah banyak yang memakai jilbab.
Lepas dari benar-tidaknya "berita" itu, cerita masuk Islamnya Nyi Roro Kidul seakan membenarkan tesis Ricklefs bahwa sejarah Islamisasi di Jawa sangat kompleks. Sejak Islam datang ke Jawa 600 tahun lalu, banyak sekali kejutan dalam proses Islamisasi di Jawa dan kondisi itu terus berjalan secara tidak linier. Memang sulit membayangkan bagaimana proses Islamisasi muncul dengan kisah mistis macam itu. Tapi, faktanya, hal itu terjadi dan dampaknya sangat fenomenal dalam kehidupan orang Jawa.
Berita masuk Islamnya Nyi Roro Kidul dan dampaknya terhadap proses Islamisasi yang mengejutkan mungkin --dalam fase tertentu-- mirip dengan jadi santrinya Pak Harto. Peneliti Islam Jawa dari Barat niscaya tidak bisa membayangkan, bagaimana priayi abangan (Geertz) semacam Pak Harto yang juga abangan military general (Samson) tiba-tiba membangun masjid megah At-Tien di Taman Mini dan membangun 999 masjid di seluruh Indonesia melalui Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila-nya.
Di sisi lain, cerita masuk Islamnya Nyi Roro Kidul yang sangat tidak rasional itu menunjukkan, tesis Wright Mills bahwa kekuatan modernisasi dan sekularisasi akan menyapu mistisisme dan sakralisme dari kehidupan manusia pasca-Renaisans ternyata tidak terbukti. Pippa Noris dan Ronald Inglehart dalam bukunya, Sacred and Secular --Religion and Politics Worldwide, mengulas bagaimana para pemikir besar seperti Auguste Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim, Max Weber, Karl Marx, dan Sigmund Freud yang memprediksi bahwa agama akan hilang setelah munculnya masyarakat industri sekarang harus melihat kenyataan sebaliknya. Agama ternyata makin hidup dan merobohkan teori-teori dasar sekularisasi yang meramalkan habisnya sakralisasi di dunia modern.
Di sebuah desa di Lampung, misalnya, Majelis Ulama Indonesia pernah bercerita bagaimana "jin-jin" berperan besar dalam mengkristenkan masyarakat desa di sana --sebagaimana Nyi Roro Kidul mengislamkan orang-orang abangan di lereng Gunung Lawu. Di Eropa, Amerika, Jepang, bahkan di Cina, antusiasme masyarakat dalam mengikuti agama makin kuat. Pada saat ini, di abad ke-21, meminjam istilah Nancy Rosenblum, kewajiban berkewarganegaraan makin bergesekan dengan kewajiban keberimanan. Di Jepang, peluncuran mobil model terbaru Mazda, misalnya, pernah dilakukan di kuil dengan persembahan model agama Shinto kuno.
Melihat kondisi ini, Berger mau bersikap jujur. Ia sempat mengungkapkan, tidak ada salahnya jika para sosiolog mengakui bahwa teorinya salah. "Toh, kita ini sosiolog yang kesalahannya akan lebih mudah dimaafkan dibandingkan dengan kesalahan para teolog," tulis Berger (Sekularisasi Ditinjau Kembali, Pustaka Alvabet, 2009).
Dari gambaran tersebut, cerita aneh Nyi Roro Kidul masuk Islam di atas bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Cerita itu muncul berbarengan dengan tumbuhnya transisi pemikiran yang mulai menyangkal teori-teori sosiologi yang selama ini dianggap modern. Fenomena ini ternyata tak hanya muncul di Jawa, melainkan juga di seluruh dunia. Agama kembali bangkit dan membuktikan eksistensinya di tengah gempuran teori sosiologi modern yang menihilkannya.
Oleh: M. Bambang Pranowo (Guru Besar Sosiologi Agama UIN Jakarta & Direktur Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian)
Source : fb Islam Nusantara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar