Senin, 07 Juli 2014

MENGUJI KETAJAMAN RASA DENGAN PUASA


Betapa penting kita menentukan niat dan tujuan kita berpuasa, karena proses dan hasil akhir dari puasa kita ditentukan oleh niat kita. Monggo dibaca...

Di tengah perjalanan Ramadan kali ini, pernahkan kita -- sedikit iseng -- bertanya mengenai tujuan puasa; apa sebenarnya yang didapat dari ritual puasa?
Secara normatif, tujuan manusia hidup adalah mengabdi kepada Allah demi mencapai ridha-Nya, yang dinyatakan dalam sikap santun, ramah, menghormati dan saling mengasihi kepada sesama dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, dalam skala apapun (sosial, ekonomi, budaya, politik dan agama). Perjalanan panjang menuju ridha dan takwa amatlah jauh dan melelahkan untuk ditapaki dengan hitungan ruang (locus) dan waktu (tempus) bagi manusia. Akumulasi umur manusia terlalu pendek untuk menggapainya. Maka, diperlukan siasat dan strategi, yakni waktu yang efisien yang memungkinkan manusia melakukan transendensi-transendensi (lompatan-lompatan).
Salah satu bentuk transendensi itu adalah sebuah pengambilan jarak terhadap diri (self) dan bumi. Dan, ibadah puasa adalah pengambilan jarak itu sendiri. Puasa adalah ibadah temporal, yang dilaksanakan sebulan dalam setahun, dimulai dari fajar dan diakhiri hingga bedug maghrib.
Ibadah puasa sebenarnya ibadah yang netral. Puasa berorientasi mengantarkan pelakunya pada kebenaran atau sebaliknya, yakni hanya 30 hari cerita kelaparan dan kehausan saban siang. Tak lebih dari itu. Oleh karena itu, maka belum tentu jika puasa benar-benar menjadikan pelakunya bertakwa, kecuali jika shoim (pelaku puasa) memiliki niat dan tujuan yang benar terlebih dahulu. Tanpa niat dan tujuan yang benar, yang didapat hanyalah kenyataan-kenyataan yang naif. Yakni sebagaimana kita saksikan selama ini, sikap beragama yang anarkis, cara beribadah yang pilih-pilih, setengah-setengah, perilaku bergaul dengan masyarakat yang mau menang sendiri, etika berpolitik yang menghalalkan segala cara, sikap bersosial yang merendahkan orang lain (the other), cara berekonomi yang rakus tanpa perhitungan, cara berbudaya yang tanpa muatan nilai sema sekali (meaningless).
Ini sama sekali bukan "buah" dari puasa. Ini semua akibat dari tidak menginternalnya ibadah puasa dalam diri kita, sehingga tak sanggup diejawantahkan dalam perilaku dan sikap sehari-hari. Mungkin dari sinilah, apa yang Nabi Muhammad katakan sebagai sebuah kritik kepada umatnya menjadi kenyataan, yakni bahwa "banyak di antara umatKu yang melakukan puasa, tetapi mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali hanya lapar dan dahaga" (Kam min shoimin laisa lahu min shiyaihi illa l-juu' wal athos).
Manusia tidak akan menyerap dan menyadari nilai apa pun tanpa sebelum dia bersedia mengambil jarak dengannya. Puasa adalah ibadah dalam rangka mengambil jarak dengan diri (self distance) dan bumi. Dan, ini adalah -- meminjam istilah Miranda Risang Ayu -- penghangusan ego, supaya yang sujud tidak hanya dahi, tetapi juga jiwa, hati dan kesadaran. Dengan begitu kita bisa menyadari tentang nilai diri (mengenal dan mengendalikan diri) dan nilai sumber daya alam, sebagai medan operasionalnya. Di sinilah latihan mengasah ketajaman rasa dimulai. Berpuasa berarti berhenti melayani tuntutan jiwa dan raga dalam waktu tertentu dan berhenti menguras hasil bumi. Di sini, shoim (pelaku puasa) akan mengenal betapa lemah dirinya dan betapa tingginya nilai sumber daya alam (bumi) bagi pertumbuhan energi manusia.
Tanpa puasa, manusia tidak akan pernah terasah ketajaman rasa-nya kalau dirinya itu lemah. Sehingga, tak heran, jika manusia sering membusungkan dada dan merasa lebih tinggi dari segala sesuatu yang ada di dunia ini. Ini menyebabkan tiada henti-hentinya manusia mengekploitasi sesama manusia ataupun menguras isi bumi tanpa memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi jauh ke depan (tamak). Perlakuan-perlakuan anarkis, kekerasan dan amoral pun akhirnya terjadi: korupsi, penghancuran, pemboman, illegal logging, ekploitasi sumber daya bumi tanpa perhitungan pemeliharaannya dan keseimbangan ekologinya dan sebagainya. Di sini, bagi Asghar Ali Engineer -- dalam bukunya On Deveolping Theology of Peace  -- menjadi sensitif merupakan pokok ibadah. Puasa bermakna membuat seseorang menjadi peka (sensitif), sebab hanya jiwa yang sensitiflah yang dapat menghadapi dan melawan ketidakbenaran dan ketidakadilan.
Kesadaran mengetahui dan merasakan diri yang lemah (dhaif) ini akan memberikan pelajaran dan bimbingan kepada shoim untuk tidak mendholimi, menganiaya dan mencampakkan orang lain, tetapi sebaliknya memberikan perlakuan yang baik dan menyenangkan berupa apapun. Makanya, di bulan Ramadan ini sangat dianjurkan untuk, misalnya ber-shadaqoh, beramal saleh, menghindari konflik; apabila diajak orang lain untuk berkonflik maka -- sebagaimana ajaran Nabi -- berkatalah kepadanya bahwa inni shoimun (saya sedang berpuasa).
Begitu juga perlakuan kepada alam semesta. Mempergunakan sumber daya alam cukup seperlunya, tanpa harus berlebihan apalagi sampai ditimbun-timbun hingga terjadi kelangkaan, sebagaimana kenyataan yang kita lihat selama ini, dan kemudian melestarikan dan merawatnya untuk anak cucu kita mendatang. Bukankan pada hakikatnya alam adalah warisan dari anak cucu kita? Oleh karenanya itu, pada bulan suci ini, umat Islam diperintahkan mengeluarkan zakat berupa makanan pokok dari hasil bumi ini (zakat fitrah) untuk diberikan kepada mereka yang berhak.
Menurut Muhammad Zuhri -- salah seorang ahli tasawuf -- transendensi yang terjadi pada saat manusia berjarak dengan diri dan alamnya adalah bahwa mereka sedang berada dalam "situasi komunikatif" dengan Tuhan. Atau, dengan kata lain, mereka sudah memiliki kelayakan untuk berdialog dengan-Nya. Mungkin di sinilah -- apa yang orang-orang sering menyebutnya -- telah mendapatkan Lailatul Qadar.
Situasi komunikatif ini memang menjadi kebutuhan dasar manusia sebagai khalifah Allah, supaya manusia mengetahui secara persis apa sebenarnya kehendak Tuhan dengan menurunkan berbagai macam "ayat-ayat" atau tanda-tanda baik-buruk, salah-benar, senang-sedih, seperti apa yang selama ini kita saksikan bersama. Sebut saja tragedi yang tiada henti-hentinya (dari bencana tsunami, tanah longsor, kecelakaan, pemboman dan lain-lain). Dengan begitu, perjalanan hidup ini bisa dihikmahi secara arif tanpa perlu ada keputus-asaan dan frustasi.
Di sinilah sebenarnya perjalanan manusia akan sampai pada titik fitri kembali (Idul Fitri). Sebuah titik terjadinya akselerasi perkembangan mental dan spritual manusia yang semakin matang. Semoga, usai Ramadan kali ini, kita semua bisa mewujudkan harapan-positif bagi kebaikan di masa depan. Amin.

Hamam Faizin (Alumnus Pascasarjana IIQ Jakarta)
Source : http://www.iiq.ac.id/index.php?a=artikel&d=2&id=70

Tidak ada komentar:

Posting Komentar