Ada rasa sedih, marah, dan kecewa setelah membaca sebuah artikel yang berjudul “Perusahaan China-Malaysia Bangun Sawah Rp. 20 Triliun di Indonesia”. Baca di sini.
Lengkap sudah. Tak tersisa sejengkalpun
tanah di negeri ini, kecuali telah tergadai ke tangan-tangan asing. Kita
terus saja betah dengan sebutan negeri para pekerja.
Dari ujung Papua sampai Sumatera,
perusahaan asing dengan gagahnya menancapkan kekuasaannya. Dan kita
terus menjadi bangsa kuli.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Masihkah
kita menyalahkan penguasaan teknologi yang kurang mumpuni untuk
mengelola sumber daya alam kita? Bahkan untuk menghasilkan beras terbaik
dan mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri sekaligus diimpor, kita tak
bisa. Bukankah kita adalah negara agraris? Jika seperti itu, maka paling
tidak, kita bisa unggul dalam bidang yang satu ini.
Yang semakin memiriskan hati, dalam artikel tersebut termaktub kalimat, “Proyek di Indonesia akan menjadi usaha patungan Wufeng yang pertama dan diharapkan dapat memenuhi pasar luar negeri. Direktur Amarak Saadiah Osman mengatakan, usaha patungannya tersebut akan menyediakan modal untuk menggarap lebih dari satu juta hektare lahan persawahan di Indonesia.”
Alamak…apakah ini sebuah kebetulan? Saya kok jadi alergi dengan kata “patungan usaha“.
Rasa-rasanya baru kemarin saya mengikuti perdebatan tentang
boleh-tidaknya melalukan usaha patungan ala Ustadz Yusuf Mansur. Banyak
yang mencerca, tetapi banyak pula yang mendukung. Tentu dengan
masing-masing alasan pembenar.
Di saat seorang anak negeri ini bercita-cita membeli ulang Indonesia melalui konsep Patungan Usahanya, eh…ramai-ramai
pula anak negeri ini mencemoohnya, bahkan ada yang mengatakan hanya
mimpi. Sekarang, apa yang akan para pencemooh itu katakan dengan
ekspansi 20 Triliun usaha patungan China-Malaysia ini? Apakah ini juga
hanya mimpi?
Ah…sudahlah…!
Usaha patungan ini siap menyerang kesejahteraan petani kita. Yah…usaha
patungan perusahaan China dan Malaysia yang siap “menggarap” tanah
subur kita. Tanah yang tidak ditemukan kesuburannya di daerah lainnya.
Mereka siap “membeli” Indonesia. Dan untuk yang kesekian kalinya, kita
kalah.
Apakah Indonesia tidak mampu menggarap
persawahannya sendiri? Apakah kita kekurangan tenaga ahli untuk
mengembangkan varietas terbaik untuk dipasarkan dengan nilai jual
tinggi? Bukankah negeri ini setiap tahun menelurkan ribuan ahli
pertanian dari puluhan institusi pendidikan berbasis pertanian? Apakah
kita tidak mampu menyediakan bibit-bibit terbaik? Ah…baru saja kemarin
kita menyaksikan anak negeri ini meraih medali emas di Olimpiade
Biologi. Lantas, apa yang kurang?
Tidak ada yang kurang, selain kemauan. Saya yakin sebenarnya kita MAMPU, tetapi tidak MAU.
Seperti kata Prie GS, “Tidak semua orang
yang MAMPU itu, MAU melakukan. Dan tidak semua orang MAU itu, SABAR
dalam melakukan. Integritas hanya dimiliki oleh orang-orang yang MAMPU,
MAU, dan SABAR”.
Ataukah bangsa ini memang sudah tidak memiliki integritas lagi?
Salam.
http://metro.kompasiana.com/2013/07/23/yusuf-mansur-dicerca-perusahaan-china-malaysia-dimanja-575843.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar