Senin, 22 Juli 2013

KISAH SANTRI KIAI KHOLIL BANGKALAN


Oleh : Rijal Pakne Avisa

Saya hanyalah pemulung kisah. Saya ceritakan kembali hikayat Kiai Muhammad Amin, salah satu santri Kiai Muhammad Kholil Bangkalan, berdasarkan ingatan saya terhadap salah satu kisah yang ditulis Allah Yarham KH. Abdurrahman Arroisi, dalam salah satu seri "30 Kisah Teladan" yang berjilid-jilid itu. Edisi ke berapa, saya lupa. Maaf jika susunan kalimat dan narasi di bawah ini tak sesuai betul dengan tulisan asli kiai yang pernah nyantri di Krapyak dan Buntet itu.
---
Kiai Muhammad Amin, yang berasal dari salah satu wilayah di Jateng, berniat nyantri ke Bangkalan. Tujuannya tentu saja ke salah satu punjering jagad saat itu, Syaikhona Kholil bin Abdul Lathif.

Bersama beberapa orang sahabat, ia berjalan kaki dengan bekal seadanya. Saat melewati Alas Roban (wilayah Batang), mereka dicekam ketakutan. Pasalnya hutan itu kondang sebagai basis begal. Tak ada pilihan lain, hari mulai gelap dan mereka juga lelah. Istirahat adalah pilihan tepat sungguhpun kekhawatiran menyergap.

Saat mereka berusaha menyalakan perapian menggunakan titikan (batu api), seseorang menghampiri. Ia meminjam batu titikan itu.
"Ah, ini batunya terlalu halus dik, kurang kasar. Kalau sudah kasar, bisa cepat nyala," orang asing itu masih berdiri sambil mengamati batu titikan.
"Boleh saya bikin kasar?"
Rombongan calon santri itu hanya mengangguk.

Dengan ringan, orang asing itu menggigit batu. Enteng betul dia memecah batu itu menggunakan giginya. Unjuk kesaktian, bisa jadi. Para calon santri hanya melongo. Sadarlah mereka jika orang asing itu sedang mengancam mereka dengan halus.
"Bawa apa saja di buntalan itu? Serahkan saja, biar kalian tak kubunuh. Paham!"
Tak ada pilihan lain. Mereka pasrah.
Begal itu segera mengemasi bekal para calon santri. Ada sedikit kegusaran di matanya melihat isi buntalan.
"Kalian mau ke mana, heh!"
"Ke Madura!"
"Untuk apa ke sana?"
"Nyantri ke Kiai Kholil di Bangkalan," jawab Amin, si pemimpin rombongan.
Si begal mendengus.
"Tidurlah. Istirahatlah kalian!"
Di tengah kehadiran begal itu, mana bisa mereka bersitirahat. Tak sejenakpun mereka bisa memejamkan mata karena terus diawasi begal yang sendirian itu.

Saat pagi menjelang, si begal mengajak mereka melanjutkan perjalanan ke arah timur hingga perbatasan hutan. Di tapal batas rimba itu, si perampok malah menyerahkan kembali bingkisan para calon santri. Aneh betul. Amin dan sahabatnya heran melihat polah tingkahnya.
"Kau tahu, aku sengaja mengawal kalian hingga perbatasan rimba ini agar tak diganggu perampok lain!"
"Mengapa tuan rela mengantar dan tak jadi merampok kami?" tanya Amin polos.
"Tadi malam, saat kalian mengaku AKAN nyantri ke Kiai Kholil, sudah kuputuskan tak jadi merampok kalian!"
"Mengapa?"
"Karena calon gurumu yang bernama Kiai Kholil itu dengan ilmu putihnya telah mengalahkan guruku!"
---
Mantep dah, reputasi telah tercium dalam radius tanpa batas, menerabas sekat, bahkan sebelum ada perjumpaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar