155 Tahun Jan Toorop
Pelukis Belanda kelahiran Purworejo 155 tahun silam itu mewariskan misteri dalam keelokan karya mosaik porselen di kawasan Jembatan Merah.
Sebuah foto koleksi Asia Maior mengisahkan
panorama gedung-gedung di sekitar Jembatan Merah pada 1918. Tampak
gerobak pedati yang ditarik dua sapi, kereta kuda, dan mobil Ford
beratap terpal putih tengah melintas. Sebagai latar belakangnya deretan
gedung-gedung perkantoran di Willemskade—kini Jalan Jembatan Merah.
Namun ada satu gedung yang mencolok dengan kibaran merah-putih-biru dan
susunan aksara besi di atapnya: “ALGEMEENE”.
Gedung Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente (Perusahaan Umum Asuransi Jiwa dan Tunjangan Hari Tua) dibangun pada 1901. Sang arsitek adalah Hendrik Petrus Berlage (1856-1934), juga sohor dengan julukannya sebagai “bapak arsitektur modern”.
Tampak depan gedung berlantai dua tersebut menyajikan gaya art-nouveau dengan lengkungan-lengkungan bata merah khas Berlage. Pintu depannya dijaga oleh penanda monumental: dua patung singa bersayap—yang terkesan horor, bahkan hingga hari ini.
Meskipun Algemeene sudah bangkrut pada tahun 1921, gedung tersebut masih kokoh sampai sekarang. Kini gedung asuransi renta itu dibiarkan kosong tak terawat. Lantai satunya pernah digunakan PT Aperdi Java Maluku, sedangkan lantai dua pernah dipakai sebagai kantor PT Asuransi Jiwasraya.
Tampak depan gedung ini menyajikan mosaik porselen nan elok, sekaligus berselimut misteri: Raja Firaun bersama ibu Eropa dan Jawa, yang masing-masing menggendong anak, dan berhias bunga dan simbol masonik.
Ada dua pendapat tentang makna simbol dari mosaik persolen tersebut. Keduanya punya makna yang menarik untuk diselisik.
Pendapat pertama mengisahkan bahwa mosaik porselen itu mengingatkan pada pemirsanya tentang kisah Isis-Ra-El, kisah kuno yang dituturkan bangsa Sumeria-Babilonia.
Tersebutlah El, seorang ayah dari dewa-dewa. Dalam karya seni itu dia duduk di tengah. Sementara Isis (diperankan Ibu Eropa) dan Ra (diperankan Ibu Jawa) sedang mencoba menarik perhatian El untuk menerima anak mereka. Kaki kanan El mengarah ke Isis. Artinya, dia lebih memilih anak dari Isis (anak Eropa), ketimbang anak dari Ra (anak Jawa yang digambarkan menangis).
Mungkin bisa berarti bahwa Algemeene sebagai lembaga keuangan non-bank lebih mengutamakan pelayanannya kepada warga Eropa ketimbang warga pribumi. Pada zaman Hindia Belanda, kelas warga Eropa memang dipandang lebih terhormat dibandingkan kelas warga pribumi. Demikianlah nasib anak negeri koloni.
Sedangkan pendapat kedua mencoba menghubungkan mosaik porselen tersebut dengan kisah dalam Alkitab dan simbol-simbol yang biasa digunakan bangsa Eropa.
Tersebutlah Firaun, seorang raja dan penguasa Mesir kuno dengan lambang jangka yang berarti Tuhan sang pencipta alam semesta. Dalam kitab Kejadian 41: 5-6 dikisahkan tentang Firaun yang bermimpi, “Setelah itu tertidur pulalah ia dan bermimpi kedua kalinya: Tampak timbul dari satu tangkai tujuh bulir gandum yang bernas dan baik. Tetapi, kemudian tampaklah juga tumbuh tujuh bulir gandum yang kurus dan layu oleh angin timur.”
Singkat cerita, Yusuf menafsirkan mimpi Firaun. Menurut tafsirannya bahwa akan terjadi tujuh tahun kelimpahan di Mesir. Kemudian akan timbul pula tujuh tahun kelaparan yang kelak menguruskeringkan negeri itu.
Dalam mosaik porselen itu, bulir gandum digambarkan dengan biji-bijian berwarna ungu. Tujuh bulir gandum di sisi kanan dengan jam pasir yang masih mengucur menggambarkan tujuh tahun kelimpahan. Sementara, tujuh bulir gandum di sisi kanan dengan jam pasir yang berhenti menggambarkan keadaan paceklik selama tujuh tahun.
Kembali ke kisah Alkitab. Yusuf pun menyarankan Firaun untuk mengumpulkan segala bahan makanan dan gandum, serta menyimpannya pada tujuh tahun masa berkelimpahan. Demikianlah, mereka menyimpan bahan makanan tersebut untuk mempersiapkan tujuh tahun masa kelaparan yang akan datang.
Ini berarti sebuah pesan bagi kita. Ketika kita memiliki kekayaan dan sumber daya berlimpah, lebih baik jika kita menyisihkannya untuk disimpan atau ditabung ketimbang menghabiskan semuanya. Karena masa depan penuh ketidakpastian, kita harus mempersiapkannya dengan menyimpan daya beli untuk hari besok. Selain itu, mosaik tersebut seolah mengatakan kepada kita bahwa kita harus melindungi kekayaan dan kehidupan kita dengan asuransi—karena ketidakpastian di masa depan.
Sementara itu, simbol “ibu dan anak” dalam mosaik porselen tersebut juga melambangkan sifat keibuan. Seorang ibu akan memberikan ketulusan dan memelihara keamanan, perlindungan, cinta, kasih sayang dalam tumbuh kembang anaknya.
Demikianlah tujuan "Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente" yang membujuk orang-orang untuk membeli produk asuransi jiwa dan tunjangan hari tua untuk berjaga-jaga. Perusahaan ini tampaknya juga menawarkan keamanan dan perlindungan aset bak kehangatan dan kasih seorang ibu kepada anak-anaknya.
Lalu, angka “1880” yang diapit jam pasir dalam mosaik merupakan tahun pendirian perusahaan tersebut yang beroperasi pada 1 Januari 1880 di Amsterdam, Belanda. Sedangkan, “Rozenburg” dalam mosaik itu merupakan pabrik porselen di Den Haag yang mengolah desain karya sang seniman.
Siapakah seniman yang mendesain mosaik porselen itu?
Dia adalah Jan Toorop, seorang pelukis bergaya pointillisme, simbolisme, dan art-nouveau. Dia berdarah Jawa-Belanda yang lahir di Purworejo, Jawa Tengah pada 20 Desember 1858. Ayahnya seorang Jawa-Belanda yang menikahi perempuan berdarah Inggris. Seniman yang religius ini wafat pada 3 Maret 1928 di Den Haag, Belanda.
(Mahandis Y. Thamrin/NGI)
source : http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/09/memecahkan-teka-teki-mosaik-jan-toorop-di-surabaya
Gedung Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente (Perusahaan Umum Asuransi Jiwa dan Tunjangan Hari Tua) dibangun pada 1901. Sang arsitek adalah Hendrik Petrus Berlage (1856-1934), juga sohor dengan julukannya sebagai “bapak arsitektur modern”.
Tampak depan gedung berlantai dua tersebut menyajikan gaya art-nouveau dengan lengkungan-lengkungan bata merah khas Berlage. Pintu depannya dijaga oleh penanda monumental: dua patung singa bersayap—yang terkesan horor, bahkan hingga hari ini.
Meskipun Algemeene sudah bangkrut pada tahun 1921, gedung tersebut masih kokoh sampai sekarang. Kini gedung asuransi renta itu dibiarkan kosong tak terawat. Lantai satunya pernah digunakan PT Aperdi Java Maluku, sedangkan lantai dua pernah dipakai sebagai kantor PT Asuransi Jiwasraya.
Tampak depan gedung ini menyajikan mosaik porselen nan elok, sekaligus berselimut misteri: Raja Firaun bersama ibu Eropa dan Jawa, yang masing-masing menggendong anak, dan berhias bunga dan simbol masonik.
Ada dua pendapat tentang makna simbol dari mosaik persolen tersebut. Keduanya punya makna yang menarik untuk diselisik.
Pendapat pertama mengisahkan bahwa mosaik porselen itu mengingatkan pada pemirsanya tentang kisah Isis-Ra-El, kisah kuno yang dituturkan bangsa Sumeria-Babilonia.
Tersebutlah El, seorang ayah dari dewa-dewa. Dalam karya seni itu dia duduk di tengah. Sementara Isis (diperankan Ibu Eropa) dan Ra (diperankan Ibu Jawa) sedang mencoba menarik perhatian El untuk menerima anak mereka. Kaki kanan El mengarah ke Isis. Artinya, dia lebih memilih anak dari Isis (anak Eropa), ketimbang anak dari Ra (anak Jawa yang digambarkan menangis).
Mungkin bisa berarti bahwa Algemeene sebagai lembaga keuangan non-bank lebih mengutamakan pelayanannya kepada warga Eropa ketimbang warga pribumi. Pada zaman Hindia Belanda, kelas warga Eropa memang dipandang lebih terhormat dibandingkan kelas warga pribumi. Demikianlah nasib anak negeri koloni.
Sedangkan pendapat kedua mencoba menghubungkan mosaik porselen tersebut dengan kisah dalam Alkitab dan simbol-simbol yang biasa digunakan bangsa Eropa.
Tersebutlah Firaun, seorang raja dan penguasa Mesir kuno dengan lambang jangka yang berarti Tuhan sang pencipta alam semesta. Dalam kitab Kejadian 41: 5-6 dikisahkan tentang Firaun yang bermimpi, “Setelah itu tertidur pulalah ia dan bermimpi kedua kalinya: Tampak timbul dari satu tangkai tujuh bulir gandum yang bernas dan baik. Tetapi, kemudian tampaklah juga tumbuh tujuh bulir gandum yang kurus dan layu oleh angin timur.”
Singkat cerita, Yusuf menafsirkan mimpi Firaun. Menurut tafsirannya bahwa akan terjadi tujuh tahun kelimpahan di Mesir. Kemudian akan timbul pula tujuh tahun kelaparan yang kelak menguruskeringkan negeri itu.
Dalam mosaik porselen itu, bulir gandum digambarkan dengan biji-bijian berwarna ungu. Tujuh bulir gandum di sisi kanan dengan jam pasir yang masih mengucur menggambarkan tujuh tahun kelimpahan. Sementara, tujuh bulir gandum di sisi kanan dengan jam pasir yang berhenti menggambarkan keadaan paceklik selama tujuh tahun.
Kembali ke kisah Alkitab. Yusuf pun menyarankan Firaun untuk mengumpulkan segala bahan makanan dan gandum, serta menyimpannya pada tujuh tahun masa berkelimpahan. Demikianlah, mereka menyimpan bahan makanan tersebut untuk mempersiapkan tujuh tahun masa kelaparan yang akan datang.
Ini berarti sebuah pesan bagi kita. Ketika kita memiliki kekayaan dan sumber daya berlimpah, lebih baik jika kita menyisihkannya untuk disimpan atau ditabung ketimbang menghabiskan semuanya. Karena masa depan penuh ketidakpastian, kita harus mempersiapkannya dengan menyimpan daya beli untuk hari besok. Selain itu, mosaik tersebut seolah mengatakan kepada kita bahwa kita harus melindungi kekayaan dan kehidupan kita dengan asuransi—karena ketidakpastian di masa depan.
Sementara itu, simbol “ibu dan anak” dalam mosaik porselen tersebut juga melambangkan sifat keibuan. Seorang ibu akan memberikan ketulusan dan memelihara keamanan, perlindungan, cinta, kasih sayang dalam tumbuh kembang anaknya.
Demikianlah tujuan "Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente" yang membujuk orang-orang untuk membeli produk asuransi jiwa dan tunjangan hari tua untuk berjaga-jaga. Perusahaan ini tampaknya juga menawarkan keamanan dan perlindungan aset bak kehangatan dan kasih seorang ibu kepada anak-anaknya.
Lalu, angka “1880” yang diapit jam pasir dalam mosaik merupakan tahun pendirian perusahaan tersebut yang beroperasi pada 1 Januari 1880 di Amsterdam, Belanda. Sedangkan, “Rozenburg” dalam mosaik itu merupakan pabrik porselen di Den Haag yang mengolah desain karya sang seniman.
Siapakah seniman yang mendesain mosaik porselen itu?
Dia adalah Jan Toorop, seorang pelukis bergaya pointillisme, simbolisme, dan art-nouveau. Dia berdarah Jawa-Belanda yang lahir di Purworejo, Jawa Tengah pada 20 Desember 1858. Ayahnya seorang Jawa-Belanda yang menikahi perempuan berdarah Inggris. Seniman yang religius ini wafat pada 3 Maret 1928 di Den Haag, Belanda.
(Mahandis Y. Thamrin/NGI)
source : http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/09/memecahkan-teka-teki-mosaik-jan-toorop-di-surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar