Sebuah
kisah tentang seekor burung Beo yang dipelihara oleh seorang ulama
(Kyai) di sebuah pesantren. Sang Kyai mengajari burung Beonya itu
mengucapkan kalimat sapaan-sapaan islami termasuk kalimat Thoyyibah. Dan
si Beo pun sangat familiar sekali mendengarkan dan mengucapkan
kalimat-kalimat tersebut, karena dia memang berada dilingkungan
pesantren yang sangat islami, jauh dari mendengar perkataan-perkataan
yang tidak senonoh.
Pada suatu ketika, sang Kyai lupa menutup kandang Beo tersebut setelah
selesai memberi makan si Beo, dan tanpa disadari oleh Beliau ada
seekor kucing telah mengintai si Beo tersebut. Dan si kucing pun
dengan bebas menerobos masuk kandangnya dan mengigit si Beo tersebut
dan memakannya.
Dalam ketakutan, kesakitan dan tidak bisa berdaya tersebut, si Beo itu
hanya bisa berteriak "Keak....keak... keak..." hingga suaranya
terdengar oleh sang kyai. Beliau segera bergegas menuju suara
tersebut, dan sesampainya dikandang, dilihatnya si Beo telah mati
digigit oleh sang kucing keluar dari kandangnya.
Sejenak sak Kyai terpekur melihat kejadian tersebut dan menangis
sejadinya, kemudian Beliau begegas masuk kamar nya dan mengunci diri
hingga beberapa hari. Para santri pun heran kenapa sang kyai berbuat
seperti itu, begitu sedihnya ditinggal mati beonya ?. Padahal selama
ini Beliau selalu bertutur bahwa musibah, malapetaka dan kematian itu
hanya Allah lah yang mengatur, kita sebagai hambanya harus senantiasa
bertawakal kepadaNYA.
Ditengah ketidakpastian tersebut, para santri berembuk dan merekapun
setuju untuk mengirim seorang utusan, menemui kyai nya untuk bertanya
apa sebenarnya yang disedihkan oleh Kyai tersebut, masak hanya karena
ditinggal mati oleh si Beo tersebut sang Kyai jadi amat sangat
bersedih sehingga mengganggu kegiatan belajar mengajar pada mereka.
Begitu utusan tersebut diperbolehkan menghadap, utusan tersebut dengan
santun dan rasa hormat menyampaikan uneg-unegnya "Pak Kyai....
sebelumnya kami memohon maaf jika pertanyaan kami dianggap lancang,
namun kami juga bersedih jika Kyai mengurung diri terus di kamar dan
tidak lagi mengajarkan ilmu kepada kami, jika kami boleh tahu.. apa
sebenarnya yang menyebabkan pak Kyai begitu sangat bersedih.., kalau
itu dikarenakan matinya si Beo, kami semua sanggup membelikan puluhan
beo-beo lain untuk Pak Kyai, sehingga Pak Kyai dapat menghilangkan
kesedihan dan mengajar kami kembali".
Seraya menghirup napas dalam-dalam, sang Kyai menjawab: "Santri -
santriku tercinta... bukan kematian Beo itu yang sangat aku sedihkan,
tetapi hikmah dari Allah SWT. yang terkandung dalam peristiwa itu
yang membuat aku sangat ketakutan".
"Hikmah apakah yang Pak Kyai maksudkan ? " sambung para santri serempak.
"Si Beo yang berada di lingkungan kita ini, insya Allah tidak pernah
melihat dan mendengar hal-hal yang tidak baik, apalagi maksiat. Bahkan
telah aku ajarkan pada Beo itu kata-kata yang baik khususnya kalimat
Thoyyibah, tetapi ketika ia meregang nyawa, dia tidak dapat
mengucapkan sepatah katapun kalimat tersebut, selain hanya suara
"keak...keak.." yang kudengarkan dari mulutnya.
Dari peristiwa tersebut aku jadi berfikir, dan yang membuatku bersedih
adalah bagaimana dengan nasibku dan kalian-kalian semua, apakah sama
dengan nasib si Beo tersebut. Meskipun hampir setiap nafas kita selalu
mengucapkan kata-kata yang baik, termasuk kalimat Thoyyibah, tetapi
dapatkah kita menjamin bahwa kita nanti mampu mengucap ”LA ILAHA
ILLALLAH” ketika sang malaikat maut menjemput kita ???
Wallahualam
Semoga sepenggal kisah diatas bisa dijadikan renungan bagi kita ..... (Limyei)
Sumber : http://myjantiko.blogspot.com/2010/10/sebuah-kisah-tentang-seekor-burung-beo.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar