Selasa, 24 September 2013

MISS WORLD

Sarlito Wirawan Sarwono

Saya bukan orang yang terlalu berminat pada kontes-kontes Miss-miss-an. Dulu, jamannya kontes Cover Girl dan Cover Boy yang diselenggarakan oleh sebuah majalah remaja di akhir tahun 1980-an, memang selama beberapa tahun saya dan almarhum pelawak Dono pernah menemani para finalis keliling beberapa kota di Indonesia untuk berceramah. Saya memberi ceramah serius, Dono bagian yang dua rius (tetapi rasanya saya tidak pernah ketemu cover boy Tukul, jadi dari mana Tukul mendapat gelar cover boy tetap menjadi misteri? Apalagi dibanding Dono, masih lebih cakep Dono buat jadi cover boy).
Walaupun demikian saya tidak pernah terlibat lebih dalam dari itu. Saya hanya melihat sepintas-sepintas saja di TV jalannya acara, terutama gelar finalis kontes-kontes kecantikan. Baik yang luar negeri seperti Miss World dan Miss Universe (apa bedanya, ya?), maupun yang di Indonesia seperti Abang dan None Jakarta (kebetulan anak dan menantu saya, suami-isteri, dua-duanya finalis Abnon), Putri Indonesia, Putri Kampus, Gadis Sampul, Putri Jamu, bahkan Putri Pajak pun ada. Selama ini pendapat saya sama dengan pendapat kebanyakan orang Indonesia lain, fine-fine saja. Buktinya, selama ini juga tidak pernah ada yang protes terhadap kontes-kontes kecantikan itu, kok. Para preman berjubah yang akhir-akhir ini sering berdemo anti Miss World, waktu itu juga fine-fine saja.
Tetapi untuk mengadakan kontes Miss World di Indonesia, sejak semula saya tidak sependapat. Bukan karena Miss World mengeksploitasi kecantikan perempuan. Kontes-kontes yang saya sebutkan di atas, semuanya juga mengkesploitasi kecantikan, tetapi apa yang salah dengan orang cantik? Makin cantik makin menarik, ya kan? Apalagi ditambah dengan kepintaran. 
Salah benar yang berpendapat bahwa lomba kecantikan merendahkan harkat wanita. Setiap lomba selalu mencari yang terbaik. Lomba lari mencari pelari tercepat, lomba renang mencari perenang tercepat, Liga sepak bola mencari kesebelasan terbaik, jadi lomba kecantikan tentu saha mencari yang tercantik. Merendahkan harkat wanita itu adalah jika wanita pandai tidak boleh sekolah (Malala Yousafzai, seorang siswi di Pakistan, ditembak Taliban, hanya gara-gara ia curhat di media sosial bahwa ia ingin terus sekolah), atau perempuan tidak boleh nyupir mobil (di Saudia Arabia), atau perempuan umroh atau naik haji wajib ditemani muhrim (sehingga jemaah Indonesia yang kebetulan artis cantik dari Jakarta, terpaksa di-“muhrim”-kan dengan seorang jemaah asal Papua yang berkulit hitam-kelam, sekedar agar bisa lolos umroh. Anehnya, petugas imigrasi di Jedah tak banyak tanya, langsung lolos).
Saya tidak sependapat dengan penyelenggaraan Miss World Indonesia, karena konstelasi sosial-psikologi, apalagi politik di Indonesia tidak kondusif. Mestinya, setiap orang yang cukup peka tentang dinamika masyarakat di Indonesia bisa mengantisipasi dampak yang merepotkan kalau Miss World diadakan di Indonesia. Walaupun tanpa bikini, walaupun kontestan malah belajar menari dan memasak kuliner Indonesia, walaupun bisa mempromosikan Indonesia, tetap tidak kondusif, karena masalahnya ada pada tataran ideologi (keyakinan. kognitif), bukan pada tataran praktis, realistik. Buktinya, apapun alasannya, MUI melarang Miss World, dan walaupun seringkali fatwa MUI tidak digubris oleh umat, kali ini fatwa MUI itu dijadikan alasan kuat oleh yang tidak setuju (termasuk para moslem moderat juga, loh) untuk menentang Miss World, bahkan demo memacetkan Bunderan HI.
Anehnya, pemerintah (saya tidak tahu instansi pemerintah yang mana) mengizinkan perhelatan kontroversial ini. Lebh aneh lagi sekarang pemerintah (saya tidak tahu apakah ini instansi pemerintah yang sama) melarang malam final di Sentul (kalau di Bali, Oke-lah). Bisa dibayangkan betapa repot dan ruginya penyelenggara. Banyak komitmen dengan pihak-pihak ketiga (gedung, pesawat terbang, sound system, EO, artis-artis lokal pendukung dll) yang harus dibatalkan (dengan pinalti), dan kontrak-kontrak baru harus dibuat cepat-cepat dengan pihak-pihak lokal. Dan yang namanya cepat-cepat, pasti banyak cacat!
***
Namun yang paling membuat saya tidak habis pikir adalah adanya kontes World Muslimah yang tiba-tiba saja muncul di Jakarta, seakan-akan jatuh dari langit dan malam finalnya diselenggarakan tanggal 18 September yang lalu (kok hari Rabu, ya? Mungkin kehabisan venue yang masih bisa di-booking di akhir pekan?). Buat saya, walaupun namanya “Muslimah” ujung-ujungnya tetap eksploitasi kecantikan. Sama persis dengan Moss World, cuma yang satu pandai mengaji yang lain tidak, yang satu pakai hijab (arti harafiahnya: tirai pemisah antara ruang laki-laki dan perempuan, bukan asesori busana wanita), yang lain tidak.
Tetapi yang paling menggelikan adalah terkesan sekali dadakannya. Empat belas dari 20 finasilsnya orang Indonesia (70%) adalah orang Indonesia. Maka nama-nama finalis yang muncul antara lain adalah Putri Puspita Wardani, Naidia Chairunusa, Anggi Maisarah dan Santi Handayani. Internasional dari mana?
Negara peserta (semuanya finalis) datang dari enam negara saja, yakni Brunei, Malaysia, Bangladesh, Iran, Nigeria dan Amerika Serikat. Finalisnya Amrik, Airel Fatima, malah mengundurkan diri, karena muhrimnya (ayahnya) tidak enak badan (not delisicious body), sehingga sebagai muslimah dia tidak bisa bepergian sendiri. Terus ke mana itu negara-negara lain seperti Pakistan, Irak, Afghanistan, Mesir (ini harus ikut, pasti jadi pemenang), Arab Saudia, Libanon (Miss Libanon , Karen Grhawi, justru saya lihat ikut ajang Miss World), dan lainnya? Internasional dari mana?
Pokoknya, buat saya kontes World Muslimah, lebih konyol dari Miss World itu sendiri. World Muslimah adalah kontes ngasal yang dibuat secara impulsif, dan hanya merupakan reaksi kekanak-kanakan. Dia dibuat cepat-cepat dan yang namanya cepat-cepat, pasti banyak cacat!
Walhasil, suka atau tidak suka, cacat-cacat itu akan merendahkan citra Islam itu sendiri. Justru karena semua “permainan” menggunakan label-label Islam, padahal isinya cuma persaingan bisnis atau politik atau dua-duanya.

Jakarta, 18 September 2013

source : fb Sarlito Wirawan Sarwono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar