Rabu, 18 September 2013
Mustofa Bisri (Gus Mus) bicara tentang konsep Negara Khilafah
Muslimedianews ~ Sebagian masyarakat dan ulama’ Islam menilai konsep Negara Khilafah yang terus dipromosikan kelompok Islam garis keras sangat berbahaya bagi NKRI namun ada juga yang menganggapnya biasa-biasa saja. Salah satunya adalah Gus Mus sapaan populer K.H. Mustafa Bisri pemimpin pesantren Raudlatuth Tholibin Rembang Jawa Tengah. Dia lebih memilih koreksi terhadap diri sendiri dan tak perlu menyalahkan orang lain. Berikut ini hasil petikan wawancara Al Kautsar dengan Gus Mus di kediamannya Rembang, pada hari Jum’at 8 Muharrom 1431 H/ 25 Desember 2010 M. lalu.
Bagaimana pendapat Kyai tentang isu khilafah yg makin marak ini?
Menurut Islam, sistem khilafah atau khilafah Islamiyyah itu tidak memiliki dasar. Yang ada khilafah Rosidah terjadi sesudah Nabi Muhammad. Ada kholifah Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khotthob, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib atau yang dikenal Khulafaur Rosyidin. Setelah itu ada khilafah Umamiyyah, dinasti umayyah. Setelah itu di nasti umayyah Mojopahit, Brawijaya 1 brawijaya 2, Mataram. Habis itu dinasti Abasiyyah. Jadi Khilafah itu, khilafah Rosidah, khilfah Umamiyyah, khilafah Abaiyyah, khilafah Usmaniyyah.
Sekarang khilafah mana yang dikehendaki pengajak khilafah itu? Pemerintahan itu kalau adil ya Islami. Di Abbasyah (sekarang Etiopia), jaman Nabi Muhammad, kepala negaranya seorang nasrani tapi walaupun demikian oleh Nabi Muhammad dihormati. Para shahabat nabi yang hijrah disana juga mendapat perlindungan.
Tampaknya konsep khilafah itu kian mendapat sambutan dari masyarakat terutama anak muda?
Karakter manusia itu memang suka terhadap hal yang baru, sementara yang lama dan sudah mapan dilihatnya biasa-biasa saja. Misalnya saja NU dan Muhammadiyah. Karena merasa sudah mapan NU dan Muhammadiyah sekarang ini tinggal ngantuknya saja.
Munculnya gerakan baru (pengajak khilafah) lalu dilihat sebagai sesuatu yang baru. Apalagi gerakan itu banyak menawarkan kegiatan. Inilah yang memikat anak-anak muda tanpa melihat isinya benar atau salah.
Menyikapi fenomena ini tentu kita harus kembali ke basik kita sendiri. Menawarkan banyak kegiatan untuk menyalurkan semangat anak muda. Sebab anak muda itu cenderung bergerak dinamis, tak bisa diam.
Walaupun misalnya, gerakan itu telah benar-benar menyusup ke NU dan Muhamadiyyah bahkan ke MUI?
Katakanlah mereka benar telah menyusup itu berarti diri kita ini lemah. Dan solusinya kita harus memperbaiki diri sendiri. Biasakan melihat (koreksi) diri sendiri dan tidak perlu menyalahkan orang lain. Misalnya, kenapa “warung” (NU) sekarang pelanggannya menurun dan berpindah ke warung lain. Padahal warung lain itu masakannya hanya itu-itu saja. Kita tidak boleh mengatakan warung lain itu jahat apalagi sampai mengundang polisi untuk menutupnya. Kalau mau kembali ke basik kita seperti dulu, nanti akan terbukti warung kita jauh lebih bagus dengan menu masakan yang lebih banyak.
Jika setiap saat hanya mengurusi mereka (pengajak khilafah) wahh ..kacau kita, yang rugi kita sendiri. NU dan Muhamadiyyah itu yang terbesar, NU bahkan terbesar di dunia. Kalau hanya mengurusi kelompok sekelas itu kan rugi. Membentengi pengaruh-pengaruhnya hanya akan membuang energi saja. Mending ngurus diri sendiri, kembali ke basik perjuangan kita yang pertama.
Seperti apa?
70 tahun lalu Hadrotush Syeik Hasyim Asy’ari menulis surat kepada kyai-kyai, yang kemudian diambil alih oleh pengurus besar untuk dikirim ke cabang-cabang. NU terbukti diminati masyarakat, karena mereka merasa mendapat manfaat. Kalau NU tidak memberi manfaat maka umat tidak akan berminat lagi.
Perlu diketahui, mereka itu (pengajak khilafah) sebenarnya meniru semua model kita. Misalnya kegiatan Lailatul Ijtimak, sekarang di NU tidak ada tapi oleh mereka digunakan setiap malam.
Jadi NU tidak ada penanganan khusus membentengi ancaman kelompok tersebut dan lebih bersikap introspeksi diri ?
Ndak. Maksudnya jangan berfikir kesana tapi berfikir ke sini. Berpikir terhadap warung sendiri bukan milik orang lain. Anda akan mencari cara apa untuk membentengi mereka, kalau kita sendiri lemah. Gimana?. Misalnya ada kebocoran menembus warung kita. Yang kita pikirkan adalah dimana bagian dinding warung rumah kita yang bocor. Permasalahannya justru ada pada diri kita sendiri, tidak perlu menyalahkan orang lain. Perkara air (paham) mereka biarkan saja mengalir kemana-mana, asal tembok kita kuat kan tidak apa-apa.
Pemikiran khilafah itu tidak berdasar. Mereka hanya benci Amerika yang dianggap menjadi biang keonaran dunia. Satu-satunya cara melawan, menurut mereka, menjadikan umat Islam seluruh dunia bersatu mendirikan kekholifahan untuk melawan Amerika. Maksudnya kan begitu. Tapi langkah itu tidak riel. Andai saja bisa berdiri, lalu siapa yang menjadi kholifahnya. Arab saja tidak bisa kok.
Dulu pernah ada yang datang kesini membawa brosur dan segala macam. Saya tanya apa tujuannya. Katanya mempersatukan Islam. Waktu itu saya bilang sambil tertawa, lho sampeyan ini gimana, mau mempersatukan Islam kok malah bikin lagi. Tak kasih tahu, kalau ingin mempersatukan umat Islam itu mudah, temui saja pimpinan-pimpinan organisasi Islam itu, masing-masing suruh bubarkan organisasinya. Hari ini di bubarkan besok jadi satu. Kalau bikin lagi namanya tidak bersatu tapi tambah banyak. Masing-masing golongan bangga dengan golongannya sendiri, seolah-olah bisa mempersatukan dunia.
Sebenarnya hubungan antara imam dengan umat itu ada, seperti tanya jawab, musyawarah, pelajaran kitab, jamaah tahlil, sembahyang ghoib bahkan ada yang menyantuni saudara-saudara kita yang lemah. Semua sudah kita lakukan.
Bukankah hal ini sebenarnya sudah bukan sekedar persoalan kelompok NU atau Muhammadiyah tapi sudah mengancam NKRI?
Sama saja. Kalau kita baik, seperti dulu, bangsa mendapat barokah yang luar biasa. Kenapa sekarang tidak. Saya lebih suka instropeksi diri dari pada menyalahkan orang lain. Jaman kemerdekaan atau jaman apa saja.
Anda sendiri melihat pemerintah menyikapi hal ini seperti apa? Pancasila dan UUD’45 dikatakan harom?
Ya tanyakan pada pemerintah. Kalau masih ingin menjaga NKRI kita harus bertanya, benarkah kita berjuang untuk negara ini atau tidak. Seperti mengejar layang-layang putus, kalau ada masalah baru kelabakan.
Ketika kuat seperti dulu, pemerintah yang bertanya kepada kita, bahkan pemerintah Jepang dulu bertanya kepada Kyai Hasyim As’ari, siapa yang paling pantas menjadi presiden. Sebetulnya Kyai Hasim itu layak, tapi hebatnya beliau tidak berfikir untuk diri sendiri seperti kebanyakan orang, tidak menunjuk putranya tapi malah menunjuk Soekarno.
Pada jaman penjajahan Belanda, Hadotush syeik juga mengeluarkan fatwa jihad. NU dalam muktamarnya memutuskan bahwa Soekarno lah yang layak menjadi presiden. Ini sikap politik kebangsaan NU untuk kepentingan NKRI. Mengapa pemerintah sekarang ini tidak mendengarkan NU sebab dengan FPI (Front Pembela Islam-red) suaranya kalah jauh.
Sebagian ulama’ mengatakan, kelompok ini hanya menggunakan kedok agama dengan dalil-dalinya untuk tujuan politik. Tanggapannya?
Di negara asalnya Yordania, kelompok ini dilarang dan tidak ada negara lain yang menerima hanya Indonesia. Organisasi terbesar NU tidak mendukung dan sepertinya Muhammadiyah juga tidak. Pemerintah harusnya percaya dan minta fatwa kepada kita tapi nyatanya kan tidak. Nah menurut saya, lagi-lagi kita harus koreksi terhadap diri sendiri. Kalau terus menerus sibuk mengurus pekerjaan kecil, kita ini lama-lama akan terkesan kecil. Saya ingin supaya kita kembali menjadi jam’iyyah yang punya wibawa, posisi yang betul-betul diperhitungkan. Belum tegaknya keadilan, kesejahteraan rakyat masih terabaikan, ini yang harus diprioritaskan.
Sebenarnya mudah sekali mematahkan dalil, hujjah mereka. Tapi tanpa dibarengi perbaikan terhadap diri sendiri secara inten tetap saja sia-sia. Mereka tidak akan mendengarkan kita. Apakah dikira kalau benar mereka lalu mau mendengarkan suara kita. Mereka hanya mendengarkan dirinya sendiri.
Maksudnya memperbaiki diri itu sepeti apa?
Lha kita tinggal kembali kepada basik kita, Kita pelajari apa yang telah dilakukan pendahulu kita. Perhatiannya terhadap Indonesia jelas sekali, dibaca oleh semua orang. Seperti soal dakwah. Dulu Wali Songo bisa mendakwahi orang jawa sampai sekian banyaknya, padahal dulu mayoritas Hindu dan Budha. Semua untuk Indonesia. Masyarakat dan orang-orang kecil dulu diperhatikan. Sekarang ini bagaimana kita ?
Dulu NU tegas menjaga NKRI seperti fatwa jihad melawan penjajah, memilih Soekarno menjadi presiden, menerima asas pancasila dan UUD’ 45. Itu namanya politik kebangsaan. Dulu NU juga selalu mendampingi, mengayomi rakyat. Kalau rakyat geger dengan pengusaha, ditindas penguasa, NU selalu membela. Selain itu, para kyai membuat lembaga-lembaga untuk membantu pedagang kecil meningkatkan kesejahteraannya.
Maka kalau analognya dengan warung, masihkan kita menggunakan resep dulu, ramah menghadapi pembeli dan masihkan kita menjaga kebersihan makanan kita, hal-hal seperti itulah menurut saya mendesak
Logika saya mengatakan, Indonesia ini terpuruk atau tidak tergantung umat Islam karena mayoritas. Dan Islam Indonesia tergantung NU karena jumlahnya terbesar.
Sumber: Al Kautsar.co
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar