“Masih pusing? Sabar ya cah ayu, kita istirahat di sini dulu. Semarang–Kudus hanya dua jam perjalanan kok. Nanti kalau sudah sampai rumahku, kamu bisa leluasa istirahat. ”
Aku mengangguk lemah sambil menatap Parikesit basah yang bergoyang tertimpa angin dan hujan. Kilat menyambar. Petir menggelegar. Kuletakkan kepalaku di atas meja kafe yang dingin. Aroma minyak kayu putih meruap dari sekujur tubuhku. Pasti Mas Naufal mengira, aku lemas sejak di bandara karena tegang menghadapi pertemuan pertamaku dengan keluarganya. Ia tak tahu saja, perutku serasa di aduk-aduk akibat membayangkan masakan andalan keluarganya; daging kerbau.
Ya, di Kudus kota kelahirannya, sapi adalah binatang yang sangat sakral dan dihormati. Ratusan tahun yang lalu, Sunan Kudus melarang warganya menyembelih sapi karena sapi adalah binatang yang di muliakan oleh umat Hindu. Kangjeng Sunan Kudus memerintahkan ini sebagai bentuk toleransi beragama. Uniknya, masyarakat Kudus yang mayoritas Islam masih menjaga larangan ini sampai sekarang.
Jadilah di kota mas Naufal tidak ada yang berani menyembelih dan membeli daging sapi meski untuk acara mantu, khitanan dan Qurban. Daging kerbau menggantikan seluruh kebutuhan masyarakat akan daging sapi. Pasar modern atau tradisional dipenuhi daging kerbau yang bergelantungan. Parahnya, sajian kuliner tingkat resto sampai kaki lima menggunakan daging kerbau. Hasilnya adalah nasi goreng kerbau, garang asem kerbau, sate kerbau, soto kerbau, bakso kerbau, steak kerbau, rendang kerbau, hueeeeeek.
Aku muntah lagi. Kali ini dipangkuan mas Naufal. Ia mimijit tengkukku sambil terus menyayangkan kenapa aku nekat bepergian dalam kedaan begini. Apa dia lupa kalau aku ini seorang wartawati yang tahan banting? Aku tidak jujur pada mas Naufal karena takut membuatnya kecewa. Dia toh tidak mungkin percaya kalau aku tidak doyan daging kerbau. Apalagi Aku bukan seorang vegetarian. Dia tahu persis aku bisa lahap makan walang atau belalang goreng saat liputan di Gunung Kidul Yogyakarta. Dia menyaksikan sendiri saat kucicipi ulat sagu mentah tanpa muntah waktu dia menemaniku bertugas di Papua. Dia bahkan pernah membawakanku oleh-oleh rempeyek laron dari Boyolali yang langsungkusantap habis. Mana mungkin dia percaya kalau aku tidak doyan daging kerbau? Dia sudah terlanjur menyebutku omnivora alias pemakan segala.
“Ini, tehnya diminum dulu biar tidak masuk angin. ”
Kuterima secangkir teh dari Mas Naufal. Asapnya masih mengepul. Perutku berangsur hangat. Aku sendiri tidak tahu persis kenapa begitu jijik dengan daging kerbau yang belum sekalipun kucicipi. Mungkin karena aku membayangkan hewannya yang kotor penuh kubangan lumpur. Atau bisa juga karena terus teringat gambar yang kuunduh dari sebuah website. Tampak jelas di situ bahwa daging kerbau memiliki serat yang besar-besar seperti bayi cacing bergerombol.
“Gimana? Siap lanjutin perjalanan?”
Aku mengangguk. Kafe ini memang kurang nyaman. Pendingin ruangannya membuatku makin menggigil.
“Yuk, tapi aku duduk di jok belakang saja ya. Aku kepengen rebahan. Mas ndak papa tho, nyetir di depan sendirian kayak supir taksi?”
Mas Naufal terbahak. Kulihat sinar matanya begitu bahagia. Ia adalah telaga. Bukan hanya untukku yang telah berusia dua puluh sembilan tahun dan telah ditinggal menikah oleh semua sahabatku, aa juga telaga untuk Mama yang sudah kelelahan berdoa dan sudah pasrah kalau aku jadi perawan tua. Ya Tuhan, jangan pisahkan aku dari telagaku hanya gara-gara seonggok daging kerbau.
****
Aku mengenal mas Naufal di Yogyakarta. Saat itu aku diminta meliput kegiatan satu Suro. Kedua rekanku kebagian meliput di kraton dan Pantai Parangkusumo. Aku sendirian bertugas meliput di Pakualaman. Mas Naufal berkenalan denganku saat aku duduk sendirian di bawah pohon beringin menikmati jadah dan tempe becem yang dibakar. Saat itu wayang yang digelar hampir usai. Ia menawariku ikut bergabung dalam ritual topo mbisu mubeng tlatah Pakualaman, mengitari daerah Pakualaman sambil membisu. Walau bukan orang Yogya, baginya seremoni ini adalah perjalanan spiritual menuju jiwa terdalammanusia
Aku heran melihat ratusan orang berjalan jauh tanpa bicara sepatah kata pun. Semua mengikuti langkah para abdi ndalem Pakualaman sambil menunduk. Aku tak merasakan sensasi spiritual apapun selain rasa senang karena bisa menatap mas Naufal dengan leluasa. Aku menyukai senyumnya yang damai seperti senyum ayah. Aku mendamba bisa menyadarkan diri pada pundaknya yang tegap dan lebar. Ritual itu memakan waktu hampir tiga jam, sejak jam satu malam sampai menjelang subuh. Hasilnya, aku lelah luar biasa. Kakiku lecet dan migrainku kambuh. Tapi dini hari itu hatiku mantap bahwa aku jatuh cinta pada mas Naufal walau kami baru saja kenal.
Sejak itulah kami makin akrab. Satu bulan yang lalu, mas Naufal mengatakan pada mama untuk menikahiku. Mama langsung setuju karena melihatnya sopan dan religius. Mama makin kesengsem setelah kuberi tahu bahwa mas Naufal adalah seniman yang cukup disegani di komunitasnya. Ia sedang menjabat sebagai ketua dewan kesenian Jawa Tengah.
Sayangnya, aku belum tahu apakah keluarga mas Naufal menyukaiku atau tidak. Melihat fotoku, melihat tulisanku, melihat novel-novelku, mereka senang. Itu kata mas Naufal. Tapi kalau ternyata aku memuntahkan masakan andalan mereka, apa iya mereka bisa menerimaku?
***
Saat mobil yang kami tumpangi melintasi menara Kudus, hatiku makin kebat-kebit. Apalagi saat mobil berbelok menuju plataran rumah calon mertuaku. Ini lebih mendebarkan daripada saat sidang tesis. Lebih menggetarkan dari saat aku mewawancarai Dewi Sartika Soekarno. Hatiku meraung-raung memohon pada Tuhan agar pertemuanku dengan keluarga calon suamiku berjalan lancar. Aku memohon diberi kekuatan untuk bisa menelan daging kerbau dengan manis walau diliputi rasa jijik.
Mas Naufal memberhentikan mobil di depan rumah. Tepat di sebelah kamar mandi kuno yang telah disulap jadi gubug anggrek. Rumah mas Naufal berbentuk joglo pencu menghadap ke selatan. Seluruh dinding bagian depan terbuat dari kayu jati yang diukir indah. Rumput hijau menghampar di seluruh bagian halaman serupa lapangan sepak bola. Sejauh mata memandang, terlihat tumbuhan hijau dan bunga-bunga yang basah sisa hujan tadi siang.
Kulangkahkan kaki pelan. Aku begitu takut pertemuan ini berantakan. Aku khawatir impian masa depanku yang indah jadi hancur hanya karena aku tidak doyan daging kerbau yang sebenarnya bukan kuliner ekstrim. Aku menunduk dalam-dalam. Mataku menangkap pohon Melati, Pandan dan pohon delima. Bayangan ayah seketika berkelebat dalam benakku. Kata ayah, bila kelak aku punya rumah, aku harus memanam tiga tumbuhan tersebut. Sebab melati adalah simbol kesucian, pandan adalah simbol halalnya rejeki, dan delima adalah simbol kesejahteraan. Kenapa tumbuhan ini sudah tertanam di depan rumah keluarga mas Naufal? Apakah ini pertanda bahwa kami berjodoh? Ah, kalau saja tidak perlu ada daging kerbau.
Mas Naufal menepuk pundakku, menyadarkanku dari lamunan. Lemasku hilang berganti senyum. Ibunya yang gemuk dan cantik memelukku hangat. Aku bersalaman dengan delapan atau mungkin sembilan orang yang memperkenalkan diri sebagai bulek dan bude mas Naufal. Gerimis turun perlahan.
Calon ibu mertuaku langsung mengajakku ke meja makan. Di atasnya terhidang segala jenis masakan. Ada nasi pindhang, yang hitam seperti rawon tapi irisan dagingnya sebesar handphonku. Ada soto yang lemaknya mengapung bersama bawang putih goreng. Bukan bawang merah goreng lho. Ada daging sebesar rendang dengan kuah seperti opor tapi dicampur tahu goreng dan kol; namanya nasi jangkrik. Ada sate dari daging yang sudah digiling halus. Ada pula bakso dengan urat daging yang tampak menonjol. Seluruhnya dari daging kerbau. Aromanyacampur aduk. Perutku mulai mulas. Rasa pusing menderaku. Mualku datang lagi.
Aku berpamit ke kamar mandi saat calon ibu mertuaku menuangkan nasi pada piringku. Aku takut penolakanku pada masakan keluarga ini membuat reputasiku turun dan bahkan menjadikanku gagal jadi bagian keluarga mereka.
Rengkuhan tangan mas Naufal membuat langkahku terhenti. Ia mengangsurkan jahe hangat campur susu kesukaanku. Wedang Jahe itu kuhabiskan setengahnya dalam sekali teguk. Aku melangkah lunglai menuju meja makan. Seluruh keluarganya menantiku. Belum ada yang menuang apapun di atas nasi putih mereka. Sebab akulah bintang tamunya. Mereka semua tentu menunggu komentarku atas kelezatan masakan yang akan kupilih. Kutatap seluruh masakan itu sekali lagi. Perutku serasa penuh. Tenggorokanku mulai terasa tersodok. Lidahku mulai asam. Beberapa detik lagi kupastikan isi perutku tumpah disaksikan mereka semua. Aku pasrah karena ini di luar kuasaku.
“Ayo, mbak Wening. Pilih yang mana? Kami sudah masak spesial lho sejak kemarin.”
Kutarik nafas panjang sambil menoleh ke arah sumber suara. Dia adalah Dila, adik mas Naufal yang sudah menikah. Ia sedang menyuapi anaknya, Mazaya, yang asyik bermain. Kami sudah sering telpon-telponan. Apa yang kulihat memberikanku inspirasi.
“Ayo mbak Wening. Mau yang mana?”
Aku sudah hampir muntah.
“Bu, bolehkah saya minta Abon, seperti yang dimakan dek Mazaya itu?” kataku sambil menahan isak.
Calon ibu mertuaku mengernyitkan kening. Ia pasti kecewa. Dengan sigap mas Naufal mengambilkan Abon dari sebuah stoples. Hanya inilah yang bisa kumakan karena aku tidak tahu abon ini terbuat dari daging kerbau atau sapi. Kutarik nafas panjang. Kuambil kuah jangkrik dan pindhang tanpa daging. Hanya kuahnya. Dagingnya adalah abon. Kuberi sambal soto tiga sendok untuk menyamarkan aroma kerbaunya.
“Maaf ya Bu, dek Wening belum doyan daging kerbau. Tapi dia suka lho sama masakan ibu. Itu buktinya, dia makan masakan ibu walau tanpa daging. ”
Pernyataan mas Naufal membuat seluruh keluarga tergelak. Calon ibu mertuaku sampai ikutan makan Abon. Prosesi makan berjalan lancar walau aku kepedasan. Tak apalah daripada aku muntah. Aku lega karena bisa berdamai dengan tradisi walau harus susah payah.
Diluar hujan deras. Adzan magrib berkumandang. Semerbak melati semakin mendamaikanku. Aku tahu pernikahan berbeda propinsi akan memunculkan perbedaan di banyak sisinya. Budaya, tradisi, bahasa, bahkan adat istiadatnya. Namun aku telah siap. Walau spontan, pilihanku atas abon daging kerbau tadi membuatku tahu cara tepat menghadapi perbedaan dengan elegant.
Langgar sastra, 19 Agustus 2013
Khilma Anis, menulis novel Jadilah Purnamaku, Ning (Matapena 2008) dan beberapa cerpen.
http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,49-id,48366-lang,id-c,cerpen-t,Wening-.phpx
Tidak ada komentar:
Posting Komentar