Ia tak terlalu tinggi, mungkin sekitar 160 cm. Badannya tegak, berkaca
mata dan bersahaja. Sorot matanya nampak tenang tapi berkarakter. Pesona
kharismanya muncul bukan kepada orang yang mengenalnya saja namun sudah
dapat dirasakan oleh orang yang baru melihatnya. Ia adalah seorang
pendidik sekaligus motivator. Kata-kata optimisme salalu menghiasi dalam
setiap obrolannya. Rangkaian katanya membakar semangat tapi tak membumi
hanguskan harapan, justru mengubah celah kecil menjadi pintu keluar
yang lebar. Ia seakan-akan mampu mengubah pohon yang hampir mati menjadi
pohon segar yang siap untuk berbuah. Cara bicaranya cepat, terkadang
kedua tangannya ikut bergerak, menjadi animasi, menyampaikan makna dan
hikmah. Sosok ramah dan santun itu bernama Nurhasan, Ustadz Nurhasan.
Dalam kesehariannya Ustadz Nurhasan sangat bersahaja, meskipun ia adalah
seorang kepala sekolah di salah satu SDIT di Jakarta Selatan namun ia
selalu menggunakan motor ke mana pun ia pergi, baik itu untuk mengisi
seminar maupun ke sekolah tempat ia mengajar. Sampai pada suatu hari ia
mengalami kecelakaan. Tak ada luka yang serius memang, namun mengukir
trauma dalam dirinya untuk kembali menggunakan motor. Trauma itu muncul
manakala ia membayangkan jika saja pada saat ia terjatuh ada sebuah
mobil yang melanju kencang dari belakang dan menggilasnya, untung saja
hal itu tak terjadi. Setelah kejadian itu sang ibu memberi nasehat
kepada anaknya,
“Ya udah San, sekarang naik angkot saja. Itung-itung bagi-bagi rezeki dengan supir anggkot” ujar sang Ibu.
Ia merenungkan nasehat sang ibu dan tentu saja itu adalah nasehat yang
bijak. Kemudian ia bertekad bahwa ia tidak hanya ingin sekedar naik
angkot saja namun ada kebaikan yang dapat ia berikan untuk siapa saja
saat ia menggunakan kendaraan massal itu.
Pagi itu, ia mulai menggunakan angkot kemana saja ia pergi. Ia selalu
menggunakan peci dan jaket berwarna hitam ketika berpergian. Hal yang
menarik adalah setiap kali ia naik angkot, ia selalu duduk di depan, di
samping sang sopir. Di sanalah ia menciptakan suasana yang berbeda, ia
mengajak diskusi sopir dengan hal-hal ringan. Tentang semakin padatnya
kota Jakarta, tentang setoran sopir yang selalu kurang dan hal lainnya
yang disukai sang supir. Ia menjadi seorang pendengar yang baik,
berusaha memahami dan memberikan kenyamanan kepada lawan bicaranya yang
hampir semua bercerita tentang kesulitan hidup.
Dalam suasana keakraban itu ia tanamkan dan tumbuhkan ajaran-ajaran
Islam. Dalam kekawatiran uang setoran yang selalu kurang, sang Ustadz
meyakinkan kepada sopir bahwa Allah-lah yang mengatur rezeki,
“Tugas kita hanya meluruskan niat dan menyempurnakan ikhtiar Selanjutnya
serahkan kepada Allah dan bertawakal” dengan penuh ketenangan dan
senyuman tipisnya.
Suntikan motivasi dan kehangat itu ia tebar pada seluruh sopir angkot
yang ia naiki. Satu hal lagi yang membuat para sopir merasa senang
berpenumpang Ustadz Nurhasan, ia selalu melebihkan ongkos angkotnya.
Jika tarifnya empat atau tiga ribu rupiah maka ia sering membayar dengan
uang lima ribu rupiah dan menolak uang kembalianya.
“Kita tak akan jatuh miskin dengan melebihkan ongkos” itu jawaban sang Ustadz.
Hingga suatu hari, Ustadz Nurhasan seperti biasa menunggu angkot untuk
mengantarnya ke sekolah. Berhentilah sebuah angkot dan seperti biasa
sang Ustadz memilih duduk di depan, di samping sopir. Namun ada yang
aneh dengan sopir ini, sorot matanya begitu tajam. Memperhatikan
penampilan Ustadz Nurhasan dengan sangat detail dari atas hingga ke
bawah. Bak seorang petugas keamanan yang memeriksa setiap pengunjung
pameran.
“Ada yang salah dengan penampilan saya pak?” Tanya Ustadz Nurhasan penuh keheranan.
“Maaf Pak, begini, sekarang sopir angkot jurusan Pondok Labu sedang rame
ngomongin orang. Katanya orang itu baik, ramah. kalo duduk selalu di
depan dan ngajak ngobrol sopirnya dan kalo turun, ongkosnya dilebihin.
Katanya dandanannya suka pake peci hitam dan jaket hitam, persis kaya
Bapak. Mungkin Bapak kali ya? Yang jelas semua sopir sekarang pengen
ketemu sama orang itu.” Jawab sang sopir dengan logak asli Betawi.
Ustadz Nurhasan senyum, seraya bertasbih.
Kawan, terkadang kita terlalu meremehkan hal yang sederhana padahal ia
bisa menjadi istimewa. Itulah yang dilakukan Wall-e kepada Eve, itulah
yang dilakukan Muhammad Ayyas sehingga memikat hati Doktor Anastasia
Palazzo dan itulah yang dilakukan Ustadz Nurhasan sehingga sosoknya
begitu harum dan dirindukan oleh setiap sopir. Seperti tekad kuat Marlin
yang mencari anaknya Nemo hingga ia terkenal di jagad samudera raya. []
Penulis : Syarif Hidayat
Sukabumi, Jawa Barat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar