Baskom-baskom di etalase berisi aneka sayur, langsung melemparkan pikiran ke masa kecil. Bersantap di sini tak hanya manjakan lidah, tapi juga memanggil kembali masa lalu.
Dulu —semasa kecil di Wonosari— makan dengan sayur lodeh tempe yang diiris tipis-tipis adalah hal biasa. Lauknya ikan sungai seperti wader. Namun, setelah tercerabut dari tempat itu puluhan tahun, menikmati sayur yang sama ternyata memberikan sensasi yang tidak biasa.
Saya pikir banyak orang yang senasib dengan saya jika melihat warung di Dusun Jeruk Wonosari yang dikelola Hartono itu ramai dikunjungi orang. Menyantap masakan di sini tak hanya memanjakan lidah, tetapi juga memanggil kembali masa lalu. Ada lebih dari 30 macam sayur dan 20 macam lauk-pauk di warung ini.
Memasuki warung akan disambut oleh Hartono dan adiknya, Mbak Sri. Mereka sigap membukakan penghangat nasi yang masih mengepulkan uap panas. Baskom-baskom besar di etalase berisi aneka sayuran langsung melemparkan pikiran ke masa kecil. Ada sayur bunga pepaya, rebung, dan ... jantung pisang yang membuat mata tak berkedip.
Ada banyak variasi mengolah sayur berbasis jantung pisang ini. Bisa dilodeh, ditumis, atau dikukus. Saya dulu paling bersemangat ketika disuruh memetik jantung pisang. "Hati-hati, jangan sampai getahnya kena kaos," begitu pesan Ibu. Di warung ini sayur ini dibuat lodeh. Dicampur dengan kacang polong.
Saya pun mencoba sayur lombok ijo. Meski tak tahan pedas, namun irisan tempe di sayur ini begitu menggoda. Apalagi ditemani nasi merah. Tempe yang digunakan adalah tempe tradisional yang dibungkus dengan daun jati atau daun pisang. Bukan tempa plastikan ala perkotaan.
Tak hanya sayur yang membuat air liur pingin menetes. Lauk pauk yang tersaji benar-benar membawa masa kecil di depan mata. Ada wader goreng yang dulu hanya saya santap dengan nasi mengepul saja. Terkadang untuk camilan di segala waktu. Ada juga tempe benguk, tempe gembus, dan belalang goreng. Belalang goreng tak selalu ada. Apalagi sekarang ini permintaan akan penganan ini begitu tinggi. Padahal dulu belalang ini begitu mudah ditemui.
Warung ini menjadi tempat tujuan populer setelah pariwisata di Gunung Kidul menggeliat. Objek wisata baru seperti Gua Pindul dan juga objek wisata lawas seperti jejeran pantai selatan menjadi daya tarik Gunung Kidul.
Wonosari memang berubah. Namun dalam hal kuliner tidak. Saya masih bisa menembus lorong waktu dan menikmati masakan masa lalu. Hanya saja kali ini tidak lagi makan di dapur. Di depan tungku. Tapi di meja makan!
Harga makanan di sini masih wajar menurut saya. Buka pukul 06.00 hingga pukul 16.00, sembilan pegawai terus-menerus mengolah aneka masakan, mulai dari pukul 03.30 hingga sore hari. Berminat? Cari saja RSUD Wonosari dan bertanya di mana warung Pak Hartono ini.
Saya pikir banyak orang yang senasib dengan saya jika melihat warung di Dusun Jeruk Wonosari yang dikelola Hartono itu ramai dikunjungi orang. Menyantap masakan di sini tak hanya memanjakan lidah, tetapi juga memanggil kembali masa lalu. Ada lebih dari 30 macam sayur dan 20 macam lauk-pauk di warung ini.
Memasuki warung akan disambut oleh Hartono dan adiknya, Mbak Sri. Mereka sigap membukakan penghangat nasi yang masih mengepulkan uap panas. Baskom-baskom besar di etalase berisi aneka sayuran langsung melemparkan pikiran ke masa kecil. Ada sayur bunga pepaya, rebung, dan ... jantung pisang yang membuat mata tak berkedip.
Ada banyak variasi mengolah sayur berbasis jantung pisang ini. Bisa dilodeh, ditumis, atau dikukus. Saya dulu paling bersemangat ketika disuruh memetik jantung pisang. "Hati-hati, jangan sampai getahnya kena kaos," begitu pesan Ibu. Di warung ini sayur ini dibuat lodeh. Dicampur dengan kacang polong.
Saya pun mencoba sayur lombok ijo. Meski tak tahan pedas, namun irisan tempe di sayur ini begitu menggoda. Apalagi ditemani nasi merah. Tempe yang digunakan adalah tempe tradisional yang dibungkus dengan daun jati atau daun pisang. Bukan tempa plastikan ala perkotaan.
Tak hanya sayur yang membuat air liur pingin menetes. Lauk pauk yang tersaji benar-benar membawa masa kecil di depan mata. Ada wader goreng yang dulu hanya saya santap dengan nasi mengepul saja. Terkadang untuk camilan di segala waktu. Ada juga tempe benguk, tempe gembus, dan belalang goreng. Belalang goreng tak selalu ada. Apalagi sekarang ini permintaan akan penganan ini begitu tinggi. Padahal dulu belalang ini begitu mudah ditemui.
Warung ini menjadi tempat tujuan populer setelah pariwisata di Gunung Kidul menggeliat. Objek wisata baru seperti Gua Pindul dan juga objek wisata lawas seperti jejeran pantai selatan menjadi daya tarik Gunung Kidul.
Wonosari memang berubah. Namun dalam hal kuliner tidak. Saya masih bisa menembus lorong waktu dan menikmati masakan masa lalu. Hanya saja kali ini tidak lagi makan di dapur. Di depan tungku. Tapi di meja makan!
Harga makanan di sini masih wajar menurut saya. Buka pukul 06.00 hingga pukul 16.00, sembilan pegawai terus-menerus mengolah aneka masakan, mulai dari pukul 03.30 hingga sore hari. Berminat? Cari saja RSUD Wonosari dan bertanya di mana warung Pak Hartono ini.
(Mawar Kusuma/Kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar