Kamis, 07 November 2013

DANGDUT DAN KORUPSI BERGOYANG

5267
Tercengang, Mr Takrip seperti tidak percaya dengan berita yang baru dilihat dari sebuah program berita yang memang cukup berani dan tajam menusuk. Kali ini hati sang mister seperti tercabik-cabik mendengar berita itu. Bukan tentang Topeng Monyet yang dilarang beraksi di seputar Jakarta, bukan pula tentang motor-motor keren yang dibawa oleh Buruh saat menuntut kenaikan Upah Minimum Pekerja di sekitar Monas dan Senayan kemarin. Bukan…bukan tentang itu, ini tentang sesuatu yang sudah mendarah daging dan menjadi jati dirinya setelah perjuang panjang pencarian jati diri itu.
Ini Tentang Dangdut! Ya! Wajah nggateli-nya Mr Takrip yang biasanya selalu sumringah saat mendengar adanya hentakan ketipung dan tiupan suling. Tiba-tiba harus tertunduk lesu karena ulasan berita sore itu. Dunia terasa terlalu kejam baginya, kenapa ini harus terjadi. Kenapa musik Dangdut kegemarannya harus menjadi kambing hitam.
“Aku nelongso cak, sedih hati ini! Hiks!!”. Mr Takrip mbrebes mili sambil memandang langit-langit kamarnya. Menerawang jauh, memikirkan nasib goyang-goyangan syahdu dan lirik rakyat yang selalu menjadi andalan penyanyi dangdut koplo idolanya.
“Ini tidak adil namanya!, kenapa…kenapa bukan musik Rock yang penotonnya mabuk-mabukan sambil ngacungke tangan bertanduk setan. Kenapa bukan musik Dance yang penikmatnya geleng-geleng sambil nelen extacy… Kenapa…kenapa cak, kenapa harus musik Dangdut yang menjadi korbannya…”. Lirih suara Mr Tarkrip teriris, lamat-lamat seperti isakan yang tertahan.
“Bagaimana cak! Ono opo iki? Tholemu kenapa?… opo simboke thole njaluk di tukokno Mobil? Kok sepertinya sedih sekali hatimu sore ini?”. Saya yang baru pulang kerja kaget bukan kepalang melihat Mr. Takrip yang biasanya selalu ceria tanpa duka, kali ini tergeletak dengan tatapan kosong. Tangan kanannya menunjuk atap kamarnya sambil terdengar sumpah serampah. Nggak tega saya melihatnya.
“Waduh cak, ketiwasan!. Ini soal harga diri rakyat kecil cak!”. Lama terdiam, tiba-tiba Mr. Takrip bangkit dari posisi terlentangnya. Mengambil posisi duduk bersila, kemudian saya pun segera duduk menemaninya tanpa alas di pintu kamarnya. “Musik Dangdut itu milik rakyat cak, tapi akhir akhir ini selalu di kambing hitamkan oleh pemerintah juga oleh koruptor. Dan jeleknya mereka artis dangdut selalu jadi alat cuci uang hasil korupsi cak!” Mr Takrip menata satu-persatu kalimatnya dengan benar agar saya mengerti maksudnya.
“bener kui cak, ini soal rentetan kasus MK to cak?” saya mengiyakan berita yang didengakanya, karena sayapun sempat membacanya di media online.
“Tau kan apa yang saya maksudnya cak!, Ngerti kan karepan saya!.” Mr Takrip menegaskan maksudnya.
 “Dangdut itu music rakyat, milik rayat, hiburan rakyat… nggak boleh dicemarkan dengan kehidupan korupsi yang selalu menyakiti rakyat!”. tarikan nafas berat kali ini mengakhiri ucapannya.
Memang akhir –akhir ini banyak kasus korupsi yang ujung-ujung menyeret para artis dangdut yang juga idola Mr.Takrip. Menurut PPATK yang memaparkan aliran dana mencurigakan sebagai salah satu tidakan cuci uang yang dilakukan oleh tersangka korupis. Dan semakin banyak nama-nama para pedangdut yang terseret karena menerima sejumlah aliran dana dengan nilai yang cukup mencengangkan.
“Rp 900 ratus juta cak! Itu duit yang diterima oleh salah satu pedangdut idola saya. Duit itu katanya buat saweran kampanye dari seseorang yang sekarang jadi tersangka korupsi”. Hampir terbelalak dan mata melotot sang mister membayangkan duit sebanyak itu hanya untuk beberapa kali goyangan di panggung saat kampanye sang caleg.
“Itu duit siapa Krip, masa sih sebanyak itu hanya untuk mengundang artis dangdut”. Saya menyangsikan uang sebanyak itu hanya untuk mebayar tarif seorang pedangdut. Bukanya mengecilkan hati dan menyiyirkan artis dangdut. Tapi setau saya band papan atas negeri ini pun tak sampai angka ratusan juta untuk sekali manggung.
“Oleh karena itu cak!, dari hasil penyelidikan duit sebanyak itu ditengarai sebagai salah satu kejahatan cuci uang. Dari duit rakyat yang dikorupsi dan dibagi-bagi ke pihak lain untuk mengaburkan kejahatan tikus kerah purih itu. Lak ketiwasan cak?, terus bagaimana nasib sang artis, bagaimana juga  nasib rakyat yang duitnya dikorupsi dan kali ini harus menerima kenyataan goyangan hiburannya harus dinodai oleh praktek kotor itu!”. Mr Takrip menjelaskan kegudahan yang menjabarkan nasibnya yang seperti pepatah sudah jatuh masih tertimpa tangga.
“Ya..yaya.., tapi kan tidak semua pedangdut idolamu itu jadi pelaku terima cuci uang itu. Mereka malah ada yang jadi korban terseret-seret namanya gara-gara Cuma nerima duit keringat manggungnya yang tidak seberapa”. Saya mencoba mendinginkan suasana hati kawan pecinta music koplo ini.
“Bener cak!, ya memang kalo mau duit cepet dengan jalan tidak wajar dan tidak benar. Jadinya juga nggak bener koyo ngene cak!. Baru kemarin jadi artis dangdut kok ya sudah main goyang sana-sini, mungkin 900 ratus juga itu bukan Cuma bayaran saat goyang di panggung cak, tapi juga goyangan dikasur…”. Mr Takrip tiba-tiba berpikiran cabul, mungkin karena sakit hatinya sudah terlalu dalam.
“Wis..wis… sudah sudah, omonganmu tambah ora bener. Makin rusak sajalambemu… Biarlah mereka yang bergoyang dan main cuci uang rakyat yang merasakan akibatnya. Kita awasi saja proses penegakan hukum yang sedang berlangsung”. Kemudian saya berlalu meninggalkan Mr.Takrip yang masih dalam sendu sedihnya. Semoga goyang-goyang dangdut pelipur hati rakyat itu tidak juga ikut terpidana karena ulah segelintir pelantunnya.
“Ayo ndang dinyalain lagi goyang josnya… Buka sitik jos… Tak suduk tak suduk..”
#Mampang Prapatan 11, 7 November 2013
-hans-
www.trihans.com | @trihansdotcom

Tidak ada komentar:

Posting Komentar