SIKAP MBAH DELAN
Oleh : Rijal Pakne Avisa
KH. Adlan Aly, pengasuh PP. Putri Walisongo Cukir Jombang yang wafat 6
Oktober 1990, dikenal sebagai sosok yang wira'i, zuhud, dan tawaddhu'.
Selain itu, Mursyid Thariqah Qadiriyah Wa Naqsabandiyah ini hampir pasti
mendatangi setiap undangan. Bahkan, dalam usia senja, Mbah Delan—sapaan
sayang para santri dan masyarakat—rela dibonceng sepeda motor meskipun
jarak tempuhnya hampir 30 KM.
Siapa yang menyangka jika kiai
yang selalu merendah di hadapan lawan bicaranya ini adalah jago balap
mobil di masa muda. "Waktu lampu mobil masih pakai karbit, saya sudah
suka ngebut, sekitar tahun 1925," terang Mbah Delan pada seorang tamu
dari UGM yang mewawancarainya, sebagaimana ditulis ulang oleh Gus Dur
dalam buku “Kiai Nyentrik Membela Pemerintah”.
Sungguh, sebuah
hal yang kontras dengan penampilannya di usia senja; sorban yang tak
pernah lepas dari kepala dan bahunya, dua tanda hitam di dahinya akibat
kebiasaan sujud yang lama, serta doa wiridnya yang begitu panjang
sehabis shalat. Belum lagi hafalan penuhnya atas kitab suci, serta
kependekarannya di gelanggang bahtsul masail. Jauh sekali dari bayangan
semula sebagai pemuda kaya jago ngebut di zaman mobil berlampu karbit.
Yang unik, Mbah Delan mencatat rekor 26 kali pergi haji. Sebuah
prestasi yang langka. Meski begitu, saat mendidik puluhan santri,
rumahnya hanya sepetak mirip kios pasar. Ruang muka difungsikan sebagai
ruang tamu tanpa kursi. Setiap tamu yang berkunjung biasanya memilih di
atas jam delapan pagi. Sebab, murid kesayangan Hadratussyekh M. Hasyim
Asy'ari ini baru selesai wiridan sejak habis shubuh hingga pukul
delapan!
Suatu ketika, kisah Gus Mus, saat sedang mengajar para
santri, Mbah Delan melihat ada seorang santri yang terlambat; datang
dengan bersijingkat seperti takut atau malu. Spontan Mbah Delan
menundukkan kepala dalam-dalam, sengaja memberi kesan kepada santrinya
yang baru datang bahwa dia tidak melihat keterlambatannya (Gus Mus
menceritakan sepenggal kisah Mbah Delan dalam beberapa baris kalimat
dalam facebook-nya, sekitar 2009 silam).
Pernah suatu saat,
ketika Mbah Delan duduk di Syuriah PWNU Jatim, bersama rombongan PCNU
Jombang mengikuti rapat di kantor PWNU Jatim—saat itu di Jl. Raya Darmo
Surabaya—hingga larut malam. Sewaktu mau bertolak pulang, rombongan
mengeluh lapar, haus, dan letih. Akhirnya diputuskan mencari restoran di
sekitar daerah Wonokromo. Lumayan ada restoran buka, meski sudah pukul
satu dinihari. Begitu rombongan turun dari mobil, spontan disambut
gembira pemilik restoran yang bermata sipit. Tahu hal itu, Mbah Delan
bilang, "Kulo nginum mawon," (saya minum saja!). Serta merta rombongan
ikut-ikutan ambil teh botol, meski perutnya protes keroncongan. Dalam
perjalanan pulang, kepada rombongan Mbah Delan hanya bertutur lirih,
"Kulo namung ajrih, menawi katutan daging babi," (Saya hanya takut,
[masakannya] bercampur daging babi).
----
Lahul Fatihah
https://www.facebook.com/gusdurhumor/posts/10151768792591665
sungguh beliau memang seorang kyai yang perilakunya bisa menjadi uswah bagi umatnya, saya adalah salah satu dari santri beliau yang sangat bersyukur kdp Alloh telah diperkenankan bisa bersua, belajar dan nyantri kepada beliau, semoga ilmu yang beliau transfer bisa saya terapkan dalam keseharian saya shg beliau tdk kecewa memiliki santri seperti saya, amin
BalasHapus