Baru saja, Nyepi menyapa kita. Bunda Teresa pernah berkata bahwa Tuhan 'bersemayam' dalam sepi.
SEJARAH mencatat kisah Musa (pembawa risalah Yahudi) 'menemui' dan berdialog sendiri dengan Allah dalam sepinya Bukit Tursina. Yesus 'pun (yang diyakini sebagai pembawa risalah Nasrani oleh umat kristiani) syahid di tiang salibnya sendiri dalam sepi bersama Allah, dan 'berbicara' dengan-Nya dalam 'diam'-Nya. Begitu pula Muhammad (pembaca risalah Islam) menerima wahyu pertamanya sendiri dalam sepinya Gua Hira.
Bahkan, kisah kebersamaan dengan Allah dalam sepi tak berhenti pada
para nabi-Nya itu. Sayyidina Ali juga syahid dalam sepinya mihrab
cintanya pada Allah. Kisah para manusia suci selalu bersinggungan dengan
sepi bersama-Nya.
Sebagaimana sabda Allah dalam Qur'an, para manusia suci itu tak pernah sekali-kali bersedih, apalagi takut, dalam kesepiannya. Sebab, dalam sepi itu, mereka justru bertemu, berdialog dan bercengkrama dengan Allah.
Namun, di era modern yang terlanjur pragmatis dan gersang nilai ini, manusia justru sedih, takut dan lari dari sepi. Kita lahir, tumbuh dan terseret dalam sebuah peradaban yang justru mengangungkan kerumunan dan keramaian. Kita merasa kesepian dalam sepi. Kita bersedih dan takut dalam sepi. Sebab, kita tak pernah bisa menghadirkan Allah dalam sepi. Kita selalu butuh pada manusia dan bahkan menjadi 'pemuja' manusia. Karenanya, kita selalu mencari cafe, pesta, panggung hiburan atau bahkan club untuk lari dari sepi. Untuk bergabung dalam kerumunan semu. Padahal, justru dalam sepi kesejatian bersemayam. Tapi, kita cenderung memilih untuk terjerumus dalam ketidaksadaran atau bahkan 'mabuk' dalam keramaian semu itu. Oleh karena itu, sebagian kita yang hidup di Bali, misalnya, ketika Nyepi datang, justru pergi meninggalkan sepinya Bali untuk mencari kerumunan, berlibur dalam keramaian dan hanyut dalam ketidaksadaran dan kesemuan.
Padahal, secara eksistensial, seharusnya dalam suasana Nyepi kita harusnya 'berlibur' ke Bali. Dalam artian, berlibur dari segala rutinitas, kesibukan, hiruk-pikuk, kerumunan dan keramaian, untuk menghayati diri bersama Allah dalam sepi.
Sebenarnya, sepi merupakan momentum bagi kita untuk diam, menghadirkan kesadaran total dan masuk dalam renungan eksistensial tentang diri kita dan Allah. Namun, kita sering tak menyadari itu. Kita justru merasa kesepian dalam sepi. Kita memahami sepi dalam kerangka banalitas, bukan justru eksistensial.
Maka, jadilah kita bagian dari kerumunan ramai yang semu sebagai bagian dari masyarakat yang berada dalam kerugian yang nyata. Kita rugi karena tak mengikuti jejak para manusia suci itu. Karena tak ada kerugian yang lebih nyata dari ketidakbersamaan dengan Allah.
Akhirnya, kisah para manusia suci adalah kisah sepi dalam kesejatian. Sedangkan kisah kita adalah kisah keramaian dalam kesemuan.
Sumber : http://islamindonesia.co.id
Sebagaimana sabda Allah dalam Qur'an, para manusia suci itu tak pernah sekali-kali bersedih, apalagi takut, dalam kesepiannya. Sebab, dalam sepi itu, mereka justru bertemu, berdialog dan bercengkrama dengan Allah.
Namun, di era modern yang terlanjur pragmatis dan gersang nilai ini, manusia justru sedih, takut dan lari dari sepi. Kita lahir, tumbuh dan terseret dalam sebuah peradaban yang justru mengangungkan kerumunan dan keramaian. Kita merasa kesepian dalam sepi. Kita bersedih dan takut dalam sepi. Sebab, kita tak pernah bisa menghadirkan Allah dalam sepi. Kita selalu butuh pada manusia dan bahkan menjadi 'pemuja' manusia. Karenanya, kita selalu mencari cafe, pesta, panggung hiburan atau bahkan club untuk lari dari sepi. Untuk bergabung dalam kerumunan semu. Padahal, justru dalam sepi kesejatian bersemayam. Tapi, kita cenderung memilih untuk terjerumus dalam ketidaksadaran atau bahkan 'mabuk' dalam keramaian semu itu. Oleh karena itu, sebagian kita yang hidup di Bali, misalnya, ketika Nyepi datang, justru pergi meninggalkan sepinya Bali untuk mencari kerumunan, berlibur dalam keramaian dan hanyut dalam ketidaksadaran dan kesemuan.
Padahal, secara eksistensial, seharusnya dalam suasana Nyepi kita harusnya 'berlibur' ke Bali. Dalam artian, berlibur dari segala rutinitas, kesibukan, hiruk-pikuk, kerumunan dan keramaian, untuk menghayati diri bersama Allah dalam sepi.
Sebenarnya, sepi merupakan momentum bagi kita untuk diam, menghadirkan kesadaran total dan masuk dalam renungan eksistensial tentang diri kita dan Allah. Namun, kita sering tak menyadari itu. Kita justru merasa kesepian dalam sepi. Kita memahami sepi dalam kerangka banalitas, bukan justru eksistensial.
Maka, jadilah kita bagian dari kerumunan ramai yang semu sebagai bagian dari masyarakat yang berada dalam kerugian yang nyata. Kita rugi karena tak mengikuti jejak para manusia suci itu. Karena tak ada kerugian yang lebih nyata dari ketidakbersamaan dengan Allah.
Akhirnya, kisah para manusia suci adalah kisah sepi dalam kesejatian. Sedangkan kisah kita adalah kisah keramaian dalam kesemuan.
Sumber : http://islamindonesia.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar