Selasa, 10 Desember 2013

Mudahnya Berbuat Kebaikan

Hadiah - ilustrasi kebaikan
Sering terfikir dalam benak kita bahwa berbuat baik itu sukar. Apalagi, di jaman ini, ketika keburukan sudah semakin massif, dan tersebar hampir di setiap arena kehidupan. Mulai dari rumah, sekolah, jalan, bahkan masjid yang seharusnya menjadi pusat amal kebaikan, tak jarang dijadikan tempat untuk melakukan maksiat.

Mulai dari yang kelas teri, seperti membuang sampah sembarangan, hingga mengambil sandal atau sepatu yang bukan miliknya. Hingga kejahatan kelas kakap, seperti ghibah, mengkafirkan kaum muslimin yang tidak sependapat, hingga oknum-oknum yang sengaja menjadikan masjid sebagai tempat melakukan maksiat terhadap lawan jenisnya.

Jika kita mau sedikit menengok ke belakang, kepada kehidupan mulia Rasulullah dan para sahabatnya, kita akan menyimpulkan dan mendapati banyak contoh, bahwa berbuat baik itu mudah. Bahkan, sangat mudah.

Suatu ketika, Rasulullah mendapat hadiah sorban dari salah satu sahabatnya. Sang Sahabat, sengaja memberikan sorban karena melihat sang Nabi yang lama tak berganti sorban. Bukan lantaran miskin, tapi lebih pada sikap sederhana. Rasul pun menerima sorban itu dengan sumringah. Sebagai wujud mensyukuri nikmat, sorban itu langsung dikenakan oleh Rasulullah.

Beginilah cara nabi mengajarkan kepada kita. Sehingga, jika suatu ketika kita mendapati hadiah mobil dari seorang sahabat, tak ada salahnya jika kita langsung mengendarainya di depan sahabat tersebut. Insya Allah, sahabat kita itu akan merasa dihargai lantaran pemberiannya bermanfaat.

Tak berselang lama, datanglah sahabat Rasulullah yang lain. Melihat Sang Nabi mengenakkan sorban baru, sahabat itu langsung mendekati Manusia Teladan itu dan menyampaikan bahwa sorban yang dipakai Nabi itu bagus. Dan ia, ingin memilikinya.

Menakjubkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah, meskipun beliau sangat menyukai sorban yang baru diterima dari sahabatnya itu, ketika ada sahabat lain yang menghajatkannya, tanpa koma, tanpa berat hati, beliau langsung memberikan sorban itu kepada sang Sahabat yang menginginkannya.

Sahabat yang memberikan sorban kepada nabi itu, merasa sumringah. Hadiahnya diterima dengan cinta oleh Nabi, dan dihargai dengan penghormatan yang penuh. Nabi, yang mendapatkan hadiah sorban dari sahabatnya, merasa sumringah, karena dengan itu, beliau bisa merasakan ketulusan yang diberikan oleh Sahabat beliau. Sahabat yang kemudian memakai sorban itu, sebagai pemberian dari Nabi, pun tak kalah sumringahnya. Ia memakai sorban itu dengan berlimpah syukur, karena memakai sorban yang baru saja dikenakan oleh orang paling mulia di jagat raya ini.

Ketiganya sumringah. Merasakan manisnya ukhuwah. Dan semakin mencintai lantaran berbagi hadiah kepada sesamanya

Berselang lama, setelah membaca cerita sorban itu, sebut saja pemuda kurus fisik namun gemuk cita-citanya, Fulan. Sekitar sebulan yang lalu, ia mendapat hadiah baju batik bergambar klub sepak bola kesayangannya asal Stamford. Diterimalah hadiah itu dengan hati berbunga. Dirawat baju itu dengan sepenuh hati.

Suatu ketika, ia berangkat ke tempat kerja dengan mengenakan batik berwarna hitam bercampur logo merah itu. Kerja ditunaikan dengan cemerlang, hinga tibalah waktu pulang. Bel berbunyi. Dipakailah batik itu untuk perjalanan pulang. Di pos keamanan tempatnya mencari nafkah, terdapatlah sahabat Fulan. Sahabat itu berujar tulus, “Batiknya bagus, Ful.” Mendengar komentar sahabatnya itu, Fulan langsung teringat dengan kisah Sorban Nabi. Berselang detik, langsung dijawab pertanyaan sahabatnya, dengan sepenuh cinta, “Iya, Alhamdulillah. Kamu mau?” tanyanya, langsung menawarkan.

Sahabatnya ini nampak sumringah, seperti ikan yang tengah diberi umpan. “Kalau dikasih ya gak boleh nolaklah. Pamali kalau nolak rejeki, hehe,” candanya. Dengan senyum simpul, si Fulan kemudian melepas batiknya itu, untuk diberikan kepada sahabatnya.

Dalam kesempatan yang berbeda, ia bertemu dengan sahabatnya yang lain. Degan setiing yang sama, namun jenis baju yang berbeda. Seperti terulang, dengan dialog yang hampir mirip. Hingga akhirnya, si Fulan kembali menghadiahkan baju yang tengah ia kenakan kepada sahabatnya. Atas nama persahabatan, dengan semangat meneladani sunnah Nabi.

Bukankah Nabi juga pernah berpesan bahwa menyingkirkan duri dari jalan adalah ibadah dan merupakan pertengahan keimanan? Andai, duri kita ibaratkan sebagai sampah, maka saat ini, banyak sekali proyek kebaikan yang bisa kita kerjakan. Bukan sekedar menjadi pemulung, tapi juga bisa menjadi pemulung kebaikan. Bermula dari diri sendiri, membuang sampah pada tempatnya. Dan, jika sempat, ambillah setiap sampah yang kita temui di jalan, dan masukkan ia ke tempat sampahnya.

Maka, merasa susah berbuat baik hanya terjadi bagi mereka yang malas dan enggan belajar. Karena sejatinya, berbuat baik itu mudah. Bahkan, sangat mudah. Asalkan tahu ilmu dan ada semangat untuk melakukannya.

Kisah-kisah di atas, adalah nyata adanya. Bukan di Negeri Dongeng. []


Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar