Senin, 09 Desember 2013

Gus Miek: "Wajah Sebuah Kerinduan"

Oleh: KH Abdurrahman Wahid
TIGA tahun lalu, di beranda sebuah surau di Tambak, Desa Ploso, Kediri, saya berhasil mengejarnya. Mobil yang saya tumpangi menelusuri kota Kediri sebelum melihat mobil Gus Miek di sebuah gang, tengah meninggalkan tempat itu. Dalam kecepatan tinggi, mobilnya menuju ke arah selatan dan hanya dapat kami bayangi dari kejauhan. Setelah membelok ke barat dan kemudian ke utara melalui jalan paralel, akhirnya mobil itu berhenti di depan surau tersebut. Gus Miek sudah meninggalkan mobilnya menuju ke surau itu, ketika mobil tumpangan saya sampai. Ia terkejut melihat kedatangan saya, karena dikiranya saya adalah adiknya, Gus Huda. Rupanya mobil tumpangan saya sama warna dan merek dengan mobil adiknya itu.

Dari beranda itu ia menunjuk sebidang tanah yang baru saja disambungkan ke pekarangan surau dan berkata kepada saya, "Di situ nanti Kiyai Ahmad akan dimakamkan. Demikian juga saya. Dan nantinya sampeyan".

Dikatakan, tanah itu sengaja dibelinya untuk tempat penguburan para penghafal Al Quran. Saya katakan kepadanya, bahwa saya bukan penghafal Al Quran. Dijawabnya bahwa bagaimanapun saya harus dikuburkan di situ. Setahun kemudian, ketika KH Ahmad Sidiq wafat, beliau pun dikuburkan di tempat itu atas permintaan Gus Miek. Baru saya sadari bahwa Kiyai Ahmad yang dimaksudkannya setahun sebelum itu adalah KH Ahmad Sidiq.

Hal-hal seperti inilah yang seringkali dijadikan bukti oleh orang banyak, bahwa KH Hamim Jazuli alias Gus Miek adalah seorang dengan kemampuan super natural. Sesuai dengan "tradisi" penyempitan makna istilah, orang awam menyebutnya dengan istilah wali (saint). Kemampuan super natural Kiyai Hamim alias Gus Miek itu, dalam istilahan estakologi orang pesantren, dinamakan sifat khariqul'adah, alias keanehan-keanehan. Dengan bermacam-macam keanehan yang dimilikinya, Gus Miek lalu memperoleh status orang keramat. Banyak "kesaktian" ditempelkan pada reputasinya. Mau banyak rezeki, harus memperoleh berkahnya. Ingin naik pangkat, harus didukung olehnya. Mau beribadah haji, harus dimakelarinya. Mau gampang jodoh, minta pasangan kepadanya. Dan demikian seterusnya.

Reputasi sebagai orang keramat ini, dinilai sebagai pendorong mengapa banyak orang berbondong-bondong memadati acara keagamaan yang dilangsungkan Gus Miek. Sema'an (bersama-sama mendengarkan bacaan Al-Quran oleh para penghafalnya) yang diselenggarakannya di mana-mana, selalu penuh sesak oleh rakyat banyak. Dari pagi orang bersabar mendengarkan bacaan Al Quran, untuk mengamini doa yang dibacakan Gus Miek seusai menamatkan bacaan Al Quran secara utuh, biasanya sekitar jam delapan malam. Bersabar mereka menanti sepanjang hari, untuk memperoleh siraman jiwa berupa mau'izah hasanah (petuah yang baik) dari tokoh kharismatik ini. Padahal, sepagian itu ia masih tidur, setelah begadang semalam suntuk. Itulah acara rutinnya, di mana pun ia berada.

Baru belakangan orang menyadari, bahwa Gus Miek menempuh dua pola kehidupan sekaligus. Kehidupan tradisional orang pesantren, tertuang dalam rutinitas sema'an, dan gebyarnya kehidupan dunia hiburan modern. Gebyar, karena dia selamanya berada di tengah diskotik, night club, coffee shop dan "arena persinggahan perkampungan" orang-orang tuna susila.

Tidak tanggung-tanggung, ia akrab dengan seluruh penghuni dan aktor kehidupan tempat tersebut. Yang ditenggaknya adalah bir hitam, yang setiap malam ia nikmati berbotol-botol. Rokoknya Wismilak bungkus hitam, yang ramuannya diakui berat.

Kontradiktif? Ternyata tidak, karena di kedua tempat itu ia berperanan sama. Memberikan kesejukan kepada jiwa yang gersang, memberikan harapan kepada mereka yang putus asa, menghibur mereka yang bersedih, menyantuni mereka yang putus asa, menghibur mereka yang bersedih, menyantuni mereka yang lemah dan mengajak semua kepada kebaikan. Apakah itu petuah di pengajian seusai sema'an, sewaktu konsultasi pribadi dengan pejabat dan kaum elit lainnya, ataupun ketika meladeni bisikan kepedihan yang disampaikan dengan suara lirih ke telinganya oleh wanita-wanita penghibur, esensinya tetap sama. Manusia mempunyai potensi memperbaiki keadaannya sendiri.

Sumber: Harian KOMPAS Minggu, 13-06-1993. Halaman: 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar