Selasa, 10 Desember 2013

Catatan Orasi Budaya Emha Ainun Nadjib dalam rangka “Temu Seniman Unik Yogyakarta”


Tedjo, Untung Basuki, Sujud Kendang, Jemek Suparti, dan Mbah Guno
Tedjo, Untung Basuki, Sujud Kendang, Jemek Suparti, dan Mbah Guno
Pada hari Selasa (26/11) pukul 19:00 WIB, Cak Nun diminta memberikan Orasi Budaya dalam rangka “Temu Seniman Unik Yogyakarta” yang terdiri dari; Jemek Supardi, Sujud Sutrisno, Untung Basuki, Tedjo Badut ‘Badutnya Jogja’ dan Pelawak Mbah Guno. Acara tersebut diselenggarakan di Warung Bakmi “Mbah Gito” Palemaan Rejowinangun Kotagede Yogyakarta.
Cak Nun menyampaikan orasi dan memimpin ngudoroso seniman Yogyakarta. Mengapresiasi kelima seniman ini, Cak Nun membingkai dua sudut pandang: 1. Mbah Guno cs dan Allah SWT. 2. Mbah Guno cs dan Indonesia saat ini. Cak Nun mengungkapkan kekagumannya kepada Allah SWT yang telah menciptakan kelima seniman yang unik ini. Yakni dengan katuranggan yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada mereka.
Cak Nun menjelaskan, kalau di dunia modern, memilih orang yang bertugas sebagai humas, juru bicara atau mensesneg maka akan dipilih orang yang luas pengetahuannya dan bagus komunikasinya. Tetapi tidak demikian halnya dengan Pak Harto. Dengan penguasaan ilmu pranotomongso dan katuranggan, mensesneg yang dipilih justru orang yang tidak komunikatif, ngomong tidak jelas dan lambat.
Dalam perspektif katuranggan itulah, kita memahami kelima seniman ini. Yakni sudah sejak semula diberi potensi oleh Allah seperti ini dan mereka menjadi dirinya seperti ini sejak dulu hingga sekarang.
Bandingkan dengan atmosfer dunia saat ini, betapa banyak yang mengajarkan dan menggiring kita untuk tidak menjadi diri kita sendiri bahkan dunia pendidikan sekalipun. Perlu dicatat bahkan dengan kenyataan seperti pada kelima sosok yg kita hormati ini, tidak ada fakultas kebudayaan manapun yang sanggup melahirkan seniman.
Sesungguhnya Islam sudah ada di Jawa sejak sebelum abad ke-8. Tetapi karena dibawa oleh pedagang, kurang merebut perhatian orang Jawa. Sebab, orang Jawa dahulu lebih memandang orang yang suci (berilmu) di atas yang lainnya, dan orang kaya berada di posisi paling bawah dalam perhatian orang Jawa. Bandingkan dengan kondisi sekarang. Orang lebih takut dan ingin mendekat kepada orang yang kaya, termasuk para ilmuwan maupun orang yang berkuasa.
Ketika diminta memberi komentar untuk para seniman ini, Pak Hery Zudianto mengatakan: malam ini saya benar-benar merasa orang kecil. Waktu saya sebagai walikota mendirikan Taman Pintar Yogyakarta, saya meminta tapak kaki, tangan, dan kesan-pesan dari para presiden Indonesia. Semua menuliskan kesan pesan sangat panjang, bahkan Pak SBY sempat mengulanginya beberapa kali. Hanya Gus Dur yang singkat pesannya: Jadilah Dirimu Sendiri. Malam ini saya menyaksikan, kelima seniman ini adalah orang yang menjadi dirinya sendiri dari dulu hingga sekarang.
Cak Nun pun sependapat dengan apa yang dikemukakan Pak Hery Zudianto. Bahkan Cak Nun meyakini sepenuhnya bahwa kelima seniman ini tergolong sebagai orang suci dengan segala kepolosan, keunikan, dan kemurnian hidupnya, serta dedikasinya sebagai seniman. Sangat sulit membayangkan Sujud Kendang punya dosa.
Mas Indra Tranggono melihat dalam perspektif negara dan pasar. Bahwa para seniman ini tidak pernah mendapatkan perhatian dari negara, mereka hidup marjinal di antara negara dan pasar.
Tuhan itu sungguh Menakjubkan; Mencipta orang-orang macam mbah Guno, Jemek, Sujud. Mereka tidak menjadi apa-apa kecuali menjadi mbah Guno, Jemek, Tejo, Untung Basuki, dan Sujud.
Tuhan itu sungguh Menakjubkan; Mencipta orang-orang macam mbah Guno, Jemek, Sujud. Mereka tidak menjadi apa-apa kecuali menjadi mbah Guno, Jemek, Tejo, Untung Basuki, dan Sujud.
Cak Nun merespons dengan meminta konfirmasi kepada mas Bondan Nusantara sutradara dan seniman ketoprak, bagaimana perlakuan televisi terhadap kesenian di antaranya ketoprak. Singkat kata, pasar atau televisi swasta sesungguhnya menghancurkan kesenian Indonesia. Yang dapat rating adalah yang harus lucu, semua harus lucu, dalam ketoprak di tv swasta Betoro Guru juga harus lucu. Puncak keprihatinan ini adalah ketika ulang tahun Yogyakarta, Ngarso Dalem justru menerima kehadiran OVJ yang sebenarnya merendahkan martabat dan nilai-nilai ketoprak atau kesenian. Untung itu tidak terjadi pada saat Pak Hery Zudianto menjabat sebagai walikota. Kalau pas beliau, pasti beda pilihannya. Tetapi beliau sekurang-kurangnya bisa memberi komentar dalam hal ini.
Saya yakin dengan keunikan dan kemurnian Mbah Guno, Sujud Kendang, dan tiga lainnya ini, beliau-beliau adalah Brahmana. Orang-orang sesungguhnya sangat dihormati dalam khazanah budaya Jawa yang asli seperti dulu. Itulah sebabnya, di tengah kebobrokan negara saat ini, kita sangat bangga memiliki lima beliau ini.
Kemudian Cak Nun membuka sedikit mengenai KPK yang sangat sulit posisinya di mana sangat mendapatkan “tekanan” ketika dalam tumpukan kasus-kasus yang ada, ketika akan tiba suatu kasus diurus, langsung ditawar untuk ditunda pengurusannya yang entah sampai kapan. Intinya, kita bersyukur, ada KPK, tapi jangan njagakke/mengandalkan KPK. Kita bersyukur ada Mahkamah Konstitusi (MK), tapi jangan andalkan MK. Kita mengandalkan orang-orang yang orisinal dan suci seperti Mbah Guno, Sujud kendang, Jemek Supardi, Untung Basuki, dan Tedjo Badut. (Red Progress/Helmi Mustofa)

SOURCE : http://kenduricinta.com/v3/?p=2899

Tidak ada komentar:

Posting Komentar