Pada hari Selasa (26/11) pukul 19:00
WIB, Cak Nun diminta memberikan Orasi Budaya dalam rangka “Temu Seniman
Unik Yogyakarta” yang terdiri dari; Jemek Supardi, Sujud Sutrisno,
Untung Basuki, Tedjo Badut ‘Badutnya Jogja’ dan Pelawak Mbah Guno. Acara
tersebut diselenggarakan di Warung Bakmi “Mbah Gito” Palemaan
Rejowinangun Kotagede Yogyakarta.
Cak Nun menyampaikan orasi dan memimpin
ngudoroso seniman Yogyakarta. Mengapresiasi kelima seniman ini, Cak Nun
membingkai dua sudut pandang: 1. Mbah Guno cs dan Allah SWT. 2. Mbah
Guno cs dan Indonesia saat ini. Cak Nun mengungkapkan kekagumannya
kepada Allah SWT yang telah menciptakan kelima seniman yang unik ini.
Yakni dengan katuranggan yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada
mereka.
Cak Nun menjelaskan, kalau di dunia
modern, memilih orang yang bertugas sebagai humas, juru bicara atau
mensesneg maka akan dipilih orang yang luas pengetahuannya dan bagus
komunikasinya. Tetapi tidak demikian halnya dengan Pak Harto. Dengan
penguasaan ilmu pranotomongso dan katuranggan, mensesneg yang dipilih
justru orang yang tidak komunikatif, ngomong tidak jelas dan lambat.
Dalam perspektif katuranggan itulah,
kita memahami kelima seniman ini. Yakni sudah sejak semula diberi
potensi oleh Allah seperti ini dan mereka menjadi dirinya seperti ini
sejak dulu hingga sekarang.
Bandingkan dengan atmosfer dunia saat
ini, betapa banyak yang mengajarkan dan menggiring kita untuk tidak
menjadi diri kita sendiri bahkan dunia pendidikan sekalipun. Perlu
dicatat bahkan dengan kenyataan seperti pada kelima sosok yg kita
hormati ini, tidak ada fakultas kebudayaan manapun yang sanggup
melahirkan seniman.
Sesungguhnya Islam sudah ada di Jawa
sejak sebelum abad ke-8. Tetapi karena dibawa oleh pedagang, kurang
merebut perhatian orang Jawa. Sebab, orang Jawa dahulu lebih memandang
orang yang suci (berilmu) di atas yang lainnya, dan orang kaya berada di
posisi paling bawah dalam perhatian orang Jawa. Bandingkan dengan
kondisi sekarang. Orang lebih takut dan ingin mendekat kepada orang yang
kaya, termasuk para ilmuwan maupun orang yang berkuasa.
Ketika diminta memberi komentar untuk
para seniman ini, Pak Hery Zudianto mengatakan: malam ini saya
benar-benar merasa orang kecil. Waktu saya sebagai walikota mendirikan
Taman Pintar Yogyakarta, saya meminta tapak kaki, tangan, dan
kesan-pesan dari para presiden Indonesia. Semua menuliskan kesan pesan
sangat panjang, bahkan Pak SBY sempat mengulanginya beberapa kali. Hanya
Gus Dur yang singkat pesannya: Jadilah Dirimu Sendiri. Malam ini saya
menyaksikan, kelima seniman ini adalah orang yang menjadi dirinya
sendiri dari dulu hingga sekarang.
Cak Nun pun sependapat dengan apa yang
dikemukakan Pak Hery Zudianto. Bahkan Cak Nun meyakini sepenuhnya bahwa
kelima seniman ini tergolong sebagai orang suci dengan segala kepolosan,
keunikan, dan kemurnian hidupnya, serta dedikasinya sebagai seniman.
Sangat sulit membayangkan Sujud Kendang punya dosa.
Mas Indra Tranggono melihat dalam
perspektif negara dan pasar. Bahwa para seniman ini tidak pernah
mendapatkan perhatian dari negara, mereka hidup marjinal di antara
negara dan pasar.
Cak Nun merespons dengan meminta
konfirmasi kepada mas Bondan Nusantara sutradara dan seniman ketoprak,
bagaimana perlakuan televisi terhadap kesenian di antaranya ketoprak.
Singkat kata, pasar atau televisi swasta sesungguhnya menghancurkan
kesenian Indonesia. Yang dapat rating adalah yang harus lucu, semua
harus lucu, dalam ketoprak di tv swasta Betoro Guru juga harus lucu.
Puncak keprihatinan ini adalah ketika ulang tahun Yogyakarta, Ngarso
Dalem justru menerima kehadiran OVJ yang sebenarnya merendahkan martabat
dan nilai-nilai ketoprak atau kesenian. Untung itu tidak terjadi pada
saat Pak Hery Zudianto menjabat sebagai walikota. Kalau pas beliau,
pasti beda pilihannya. Tetapi beliau sekurang-kurangnya bisa memberi
komentar dalam hal ini.
Saya yakin dengan keunikan dan kemurnian
Mbah Guno, Sujud Kendang, dan tiga lainnya ini, beliau-beliau adalah
Brahmana. Orang-orang sesungguhnya sangat dihormati dalam khazanah
budaya Jawa yang asli seperti dulu. Itulah sebabnya, di tengah
kebobrokan negara saat ini, kita sangat bangga memiliki lima beliau ini.
Kemudian Cak Nun membuka sedikit
mengenai KPK yang sangat sulit posisinya di mana sangat mendapatkan
“tekanan” ketika dalam tumpukan kasus-kasus yang ada, ketika akan tiba
suatu kasus diurus, langsung ditawar untuk ditunda pengurusannya yang
entah sampai kapan. Intinya, kita bersyukur, ada KPK, tapi jangan
njagakke/mengandalkan KPK. Kita bersyukur ada Mahkamah Konstitusi (MK),
tapi jangan andalkan MK. Kita mengandalkan orang-orang yang orisinal dan
suci seperti Mbah Guno, Sujud kendang, Jemek Supardi, Untung Basuki,
dan Tedjo Badut. (Red Progress/Helmi Mustofa)
SOURCE : http://kenduricinta.com/v3/?p=2899
Tidak ada komentar:
Posting Komentar