Hayoo mana yang lebih tinggi nilainya, menjauhi larangannya atau menjalankan perintahnya?
Laa khaula wa laa quwwata illaa billaahil ngaliyyil ngadziim.
Laa khaula wa laa quwwata illaa billaahil ngaliyyil ngadziim.
Para muadzin sering melafalkan bacaan tersebut sebelum melantunkan adzan. Para kyai/ulama sering pula melafalkan sebelum menyampaikan ilmu. Tuan Guru Ahmad Zaini Ghani Martapura, misalnya. Hal ini menunjukkan betapa penting dan perlunya kita sering membaca lafal tersebut. Malah dalam sebuah riwayat, memperbanyak bacaan tersebut termasuk mempermudah rejeki.
Merujuk maknanya; Pertama, memang pada hakekatnya kita tak dapat terhindar / menyingkir / menjauh dari perbuatan maksiat tanpa pertolongan Allah. Padahal, hal
tersebut nilai pahalanya lebih tinggi dari melaksanakan perintah. Begitu banyak riwayat menyampaikan bahwa menjauhi maksiat itu nilainya lebih agung dari melaksanakan perintah, dan bahwa agama itu mula-mula diturunkan Allah dalam bentuk larangan-larangan sebelum adanya perintah-perintah. Yang dimaksud di sini ialah meninggalkan setiap larangan atau hal-hal yang diharamkan Allah dengan niat semata karena Allah (beribadah kepadaNya) sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW. Jika seseorang tidak mencuri misalnya, tapi bukan karena takut kepada Allah melainkan takut pada masyarakat, yang begitu itu bukan termasuk ibadah, tidak mengandung pahala.
Sekarang ini diantara kita ada yang rajin bermaksiat sekaligus rajin beramal: para koruptor rajin sedekah, artis-artis rajin mengumbar aurat sekaligus senang berumroh, para penjudi rajin menolong sesama, aktifis masjid rajin bikin onar, dan sebagainya. Jika dinilai dari kacamata fiqih, daripada rajin bermaksiat sekaligus rajin beramal, masih lebih baik menjauhi maksiat meskipun amal kebaikannya tidak usah banyak-banyak. Logikanya, tiap maksiat itu menghasilkan dosa, sedangkan setiap amal itu belum tentu diterimaNya.
Kedua, kita pun pada hakekatnya tak akan bisa taat melaksakan perintah atau beribadah / beramal jika tak diberi pertolongan Allah. Tentu saja ibadah yang benar-benar sesuai dengan kriteria Allah sebagaimana telah dijelaskan Nabiyullah Muhammad SAW: dari segi niatnya, ilmunya (ilmu sebelum, ketika dan setelah beribadah), sikap lahir (pelaksanaan) dan batinnya (bersihnya hati dari unsur-unsur sejenis riya’, ‘ujub, iri, takabur, dll). Kalau asal beribadah sih, setan saja suka mendorong dan menolong, na’udzubillah.
Namun begitu, ketika kita tak mampu mengerem / mengurangi aktifitas maksiat sekaligus malas beramal, tak ada yang patut disalahkan kecuali diri kita sendiri. Kesalahan dimaksud ialah, kita kurang serius dan konsisten dalam memohon pertolongan kepada Allah. Adapun serius dan konsisten atau sebaliknya, hanya Allah yang Maha Menilai. Bukti bahwa kita kurang serius dan konsisten yaitu; Allah kurang berkenan menolong kita sehingga kita masih terus hobi maksiat dan lemah beramal.
Begitulah ilmu yang diwariskan Nabi Adam AS; beliau tidak menyalahkan Iblis yang telah menggodanya hingga beliau melakukan dosa besar (makan buah terlarang), tapi beliau mengaku salah di depan Tuhannya. Sebaliknya ilmu Iblis, ketika Allah melaknatnya, dia menyalahkan pihak lain, yakni Adam AS, yang selanjutnya melahirkan dendam turun-temurun sehingga layak baginya beserta para pengikutnya menghuni kekal di dalam neraka.
Mari kita perbanyak membaca bacaan tersebut, mari kita wiridkan wolo-wolo quwoto. Memang, begitulah Rasulullah SAW dan para penerus risalahnya telah menyontohkan. Laa khaula wa laa quwwata illaa billaahil ngaliyyil ngadziim.
(KH. Muhammad Fuad Riyadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar