Jika disebutkan nama Imam
al-Ghazali maka gambaran yang muncul adalah sosok ulama abad pertengahan
dengan reputasi kealiman yang tak diragukan. Ia termasuk cendekiawan
muslim yang komplet.
Wawasannya tak berhenti pada soal
teks-teks agama yang rumit. Tokoh bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'I ini menguasai disiplin
filsafat dan menaruh prioritas pada olah rohani sebagai seorang sufi
yang taat.
Para kritikus
al-Ghazali bisa saja berseberangan dengan beberapa pikirannya. Namun,
mereka tak dapat membantah kepribadian hujjatul islam ini yang zuhud,
wara’, serta amat tekun menjalankan ibadah.
Kesungguhannya
dalam beribadah tampak pula pada beberapa karyanya yang sarat anjuran
melaksanakan amalan-amalan tertentu sebagai sarana penyucian jiwa
(tazkiyatun nafs) dan pengabdian tulus seorang hamba. Kitab tasawuf
dasar, Bidayatul Hidayah, yang dikarangnya pun mengungkapkan kenyataan
ini.
Hanya saja, terselip kisah unik di balik totalitas Imam
al-Ghazali dalam beragama pasca-kewafatannya. Syekh Nawawi al-Bantani
dalam Nashaihul ‘Ibad menulis cerita seseorang yang berjumpa Imam
al-Ghazali dalam sebuah mimpi. “Bagaimana Allah memperlakukanmu?” tanya
orang tersebut.
Imam al-Ghazali mengisahkan bahwa di hadapan
Allah ia ditanya tentang bekal apa yang ia serahkan untuk-Nya.
Al-Ghazali pun menimpali dengan menyebut satu per satu seluruh prestasi
ibadah yang pernah ia jalani di kehidupan dunia.
“Aku (Allah)
menolak itu semua!” ternyata Allah menampik berbagai amalan Imam
al-Ghazali kecuali satu kebaikannya ketika bertemu dengan seekor lalat.
Saat itu Imam al-Ghazali tengah sibuk menulis kitab hingga seekor lalat
mengusiknya barang sejenak. Lalat “usil” ini haus dan tinta di depan
mata menjadi sasaran minumnya. Sang Imam yang merasa kasihan lantas
berhenti menulis untuk memberi kesempatan si lalat melepas dahaga dari
tintanya itu.
“Masuklah bersama hamba-Ku ke sorga,” kata Allah kepada Imam al-Ghazali dalam kisah mimpi itu.
Hikayat ini mengandung pesan tentang betapa dahsyatnya pengaruh hati
yang bersih dari egoisme, semata untuk kepentingan diri sendiri. Kasih
sayang Imam al-Ghazali yang luas, bahkan kepada seekor lalat pun,
membawa tokoh dengan jutaan pengikut ini pada kemuliaan
Peristiwa ini secara samar menampar sebagian kalangan yang kerap
membanggakan capaian-capaian keberagamaannya. Karena ternyata penilaian
ibadah manusia sepenuhnya milik-Nya, bukan milik manusia. Tak ada ruang
bagi manusia menghakimi kualitas diri sendiri ataupun orang lain.
Segenap prestasi ibadah dan kebenaran agama yang disombongkan bisa jadi
justru berbuah kenistaan.
Imam al-Ghazali sesungguhnya hanya
mempraktikkan apa yang diteladankan dan diperintahkan Nabi, “Irhamu man
fil ardli yarhamkum man fis sama’. Sayangilah semua yang ada di bumi,
maka semua yang ada di langit akan menyayangimu.”
Sumber : NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar