Hari ini saya mendapat pengalaman yang sangat mengesankan…
Mengikuti acara Penganugerahan Pendamping terbaik bagi para mahasiswa di Surabaya yang telah sukses membina adik-adik asuh untuk kembali bersekolah. Acara berlangsung meriah, anak-anak jalanan yang telah berubah menjadi pelajar tampil di panggung. Prestasi mereka beragam, ada yang juara menyanyi, berprestasi di sekolah, hingga meraih medali perak tingkat nasional untuk balap sepeda.
Walikota Surabaya (Ibu Tri Risma Harini) tidak canggung menyebut mereka sebagai “Anak-anak Saya”. Tapi bukan itu yang membuat saya dan belasan orang mengharu biru…
Ketika acara telah berakhir, dan Walikota beserta rombongan telah meninggalkan tempat acara, yaitu Liponsos/Lingkungan Pondok Sosial Kalijudan yang menampung anak berkebutuhan khusus, tiba-tiba dari dalam gedung pertemuan terdengar seorang anak menangis meraung-raung menyebut ibunya…
Cukup lama dia menangis sehingga banyak yang datang padanya, termasuk saya. Ternyata ia adalah seorang anak tuna grahita berusia sekitar 15 tahun. Pada acara pembukaan tadi saya lihat si Umay (nama anak itu) sangat asyik berjoget gembira…
Tangisnya makin menggema sambil terus memanggil-manggil...di mana Ibuku… di mana Ibuku….
Ada apa gerangan?? Menurut penjelasan pengurus Pondok, ternyata Umay kehilangan “Ibunya” yang tak lain adalah Walikota Surabaya, Tri Risma Harini…
Rupanya, saat bu Risma pulang, dia tengah berada di kamar mandi. Istilah Jawa-nya adalah “kelayu”…
Tak seorang pun bisa mendiamkan Umay, sehingga pimpinan Pondok berinisiatif menelpon seseorang. Saya dengar beliau melaporkan bahwa Umay tidak bisa berhenti menangis. Ternyata yang ditelpon adalah bu Risma! Saya cuma berpikir… Ah, mungkin itu hanya bersifat laporan… mana mungkin seorang walikota mau kembali hanya untuk menenangkan anak tuna grahita…?
Tapi sekitar 5 menit kemudian…. Subhanallah…. Masuklah sebuah mobil Innova hitam yang tadi dikendarai bu Walikota ke dalam halaman Liponsos..dan bu Rismapun turun… Orang-orang segera memanggil Umay, dan berbaurlah bocah itu ke pelukan “Ibunya”….
Bagaikan sikap seorang Ibu kepada anaknya, bu Walikota mendekap dan bertanya, kenapa tadi Umay tidak ikut mengantar? Terlihat si Umay begitu manja dan tak mau lepas dari pelukan “Ibunya” itu… sehingga bu Risma harus mengatakan “Ibu harus mencari uang untuk makan kamu… supaya kamu bisa belajar joget dan menyanyi…”
Akhirnya Umay pun mau melepaskan pelukan,disertai senyuman….
Sungguh… sebuah kejadian yang sangat jauh dari rekayasa, apalagi pencitraan…
[Disadur dari Status FB Farida Hardaningrum]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar