Cak Nun : Demokrasi Otentik
Oleh: Muhammad Ainun Nadjib
Demokrasi otentik adalah rakyat memilih pemimpinnya tanpa perwakilan.
Menggunakan sejumlah perangkat komunikasi, mengajukannya langsung kepada
KPU. Tentu harus jelas database penduduk, dikontrol setiap huruf dan
angkanya, sehingga tidak terjadi manipulasi dan overlapping.
Setiap warga negara bebas mengajukan nama capres serta level-level
pemimpin di bawahnya. Usah menunggu lima tahun sekali. Kapan saja
tinggal kirim. KPU yang menentukan dateline suatu periode pemilihan.
Kalau sudah matang tradisi otentisitas pemilihan seperti ini, warga
negara bisa kirim juga nama pilihan menteri-menteri mereka. Bisa jadi
muncul 100.000 capres, 1 juta calon menteri, dan ranking I bisa saja
kuotanya di bawah 20%. Dalam kasus ini, dimungkinkan penyelenggaraan
babak final dengan cara coblosan di TPS. Kalau capres terpilih hanya
didukung oleh jumlah yang tidak mencukupi logika kepemimpinan nasional,
itu berarti hati dan pikiran rakyat memang belum siap atau tidak cocok
dengan formula negara kesatuan.
Media massa dipersilakan,
dengan latar belakang peta modal dan rekayasa politik: bermain dan
menggiring opini ke publik siapa tokoh yang pantas dan yang tak layak.
Kalau hasilnya terbukti rakyat tidak memiliki filter dan independensi
berpikir tentang calon pemimpin: itu artinya rakyat belum siap
bernegara. Parpol dan DPR di mana? Kasus pilgub DKI menjelaskan bahwa
rakyat memilih tidak berdasarkan atau melalui logika aspirasi dan
ideologi parpol. Dimensi parpol dan perwakilan sudah tidak riil dalam
kesadaran politik rakyat. Bahkan, ketika dulu rakyat benar atau keliru
mencoblos SBY, sebenarnya secara substansial itu bukan peristiwa politik
dan kenegaraan, meskipun secara "teater" memang mereka berduyun-duyun
ke TPS.
"Coblosan" itu pekerjaan rutin lima tahun sekali. Itu
toleransi budaya. Dipertimbangkan tidak lebih serius dibandingkan
ketika akan mandi atau masak untuk makan siang. Apalagi kalau ada
pembagian uang Rp 50.000: itu adalah peristiwa rezeki Rp 50.000. Tidak
harus ada hubungan dengan kepentingan nasional, kedaulatan rakyat, atau
tanggung jawab kenegaraan.
Rakyat Indonesia sangat mandiri.
Kalau ada negara dan pemerintah, mereka menampungnya. Sabar
mengakomodasikan perilakunya, seburuk apa pun. Selebihnya, mereka cari
nafkah sendiri. Bikin putaran-putaran perekonomian sendiri. Rakyat
menolong perusahaan-perusahaan besar dengan menyiapkan warung-warung
kecil untuk makan karyawan mereka. Pertolongan terbesar rakyat Indonesia
kepada negara dan pemerintahnya adalah kesetiaan membayar pajak, tanpa
menuntut pemenuhan kewajiban negara dan pemerintah kepada mereka.
''Orang bijak bayar pajak''. Tepat sekali. Kalau rakyat mengandalkan
rasionalitas bernegara, mereka pasti cenderung malas atau bahkan menolak
bayar pajak. Dengan kadar pemenuhan kewajiban negara dan pemerintah
atas rakyat yang sangat minimal, hanya kebijakan dan kearifan hati
rakyat yang luar biasa yang memungkinkan mereka ikhlas membayar pajak.
Parpol-parpol berhasil menyelenggarakan retakan sosial, menyempurnakan
pecah belah rakyat oleh ketidakdewasaan beragama, makin meningkatnya
jumlah aliran, mazhab, golongan, geng, klub. Indonesia juga makin hangat
oleh tawuran antarpelajar, mahasiswa, kampung, suku. Tawuran beda-beda
modusnya, formulanya, aneka ragam kualitasnya. Ada tawuran fisik,
tawuran kepentingan golongan, tawuran paham dan tafsir, tawuran
eksistensi, tawuran untuk saling menegasikan dan meniadakan yang lain.
Yang tenang-tenang hanya FPI. Mereka arif untuk mengambil jarak dari
keributan masyarakat dan substansi kebrutalan negara. Di usia tua
sekarang ini, saya juga sedang ditawari untuk masuk menjadi anggota FPI,
Front Pemancing Indonesia.
Parpol-parpol pasti tidak tawuran
dengan adu celurit, tetapi nafsunya besar untuk saling memusnahkan.
Bahkan bukan hanya antarparpol, antarkelompok atau individu di dalam
parpol pun diam-diam tawuran, kalau perlu pakai santet. Lahir kutu-kutu
loncat, bunglon, ''pagi tempe sore kedele''. Bahkan islah dan tabayyun
antara Nak Imin dan almarhum Paklik Dur baru akan diselenggarakan kelak
di antara gerbang surga dan neraka.
Andaikan parpol punya
anggota pasti, bukan konstituen, mungkin lebih sederhana masalahnya.
Pemimpin yang terpilih langsung diketahui dari siapa yang diajukan
parpol yang anggotanya terbanyak, tak perlu bikin "turnamen" lagi.
Dananya bisa dipakai untuk penggandaan rel kereta api di seluruh Jawa,
pengadaan transportasi kereta api di pulau-pulau lain, memperbanyak
jalan tol, pelebaran jalan, UKM, atau langsung saja duit itu
dikendurikan untuk rakyat.
Tapi mana bisa. Kan, harus ubah
undang-undang. Sedangkan yang berhak ubah undang-undang justru
"terdakwa" utama dalam kasus penyakit kanker kenegaraan ini. Jadi,
sekarang rakyat berhadapan dengan pertanyaan: percaya atau tidak kepada
wakil-wakil mereka? Atau: rakyat perlu wakil atau tidak? Atau: hitung
kembali bagaimana menentukan wakil. Jawaban rakyat mungkin begini:
''Silakan saja. Hidup kami tidak bergantung pada itu semua.''()
Sumber : http://www.gatra.com/kolom-dan-wawancara/20928-demokrasi-otentik.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar