Pembatalan
pembakaran Al-Quran hanya omong kosong belaka. Faktanya, dua pendeta
justru melakukannya. Yang melakukan bukan Pendeta Terry Jones, tapi
kedua pengikutnya. Pendeta Bob Old bersumpah melaksanakan aksinya
membakar Al-Quran. Bersama Pendeta Danny Allen, Old melakukan aksinya di
hadapan sekelompok orang yang sebagiannya merupakan awak media, Sabtu
(11/9) lalu, sama persis pada hari yang dideklarasikan Terry Jones.
Kedua pendeta itu menyiram dua buah mushaf dan sebuah
teks Islam lainnya dengan cairan pembakar, lalu menyulutnya dengan api.
Mereka menyaksikan bersama-sama kitab suci umat Islam itu menjadi abu.
Aksi dua pendeta itu dilakukan di pekarangan belakang kediaman Old.
Mereka mengatakan aksinya merupakan pesan dari Tuhan. Old mengatakan
gereja telah mengecewakan banyak orang karena tidak mendukung aksinya.
“Saya yakin bahwa sebagai negara kita berada dalam bahaya,” ujarnya
sebagaimana dikutip media online Tennessean (12/10).
“Ini adalah buku berisi kebencian, bukan cinta,” katanya sambil
memegang Al-Quran sebelum kemudian membakarnya. “Ini adalah kitab palsu,
Nabi Muhammad adalah nabi palsu dan itu merupakan wahyu palsu,”
tambahnya.
Kedua pendeta itu lantas melakukan apa yang disebutnya sebagai
“demonstrasi damai” dengan sedikit gegap gempita. Delapan orang wartawan
ikut menyaksikan aksi kedua rohaniwan gereja itu. [Gila, Al-Quran Ternyata Jadi Dibakar, metrotvnews.com]
“Anjing!” rutuk saya sesaat setelah membaca berita itu, “Ini gila!
Kita harus perang! Terkutuklah mereka!” Umpatan-umpatan dan caci-maki
saya keluar tanpa kontrol.
“Setan!” teriak saya sekali lagi.
Tiba-tiba Tuan Setan muncul di hadapan saya! Wajahnya penuh kemarahan. “Bakarlah Al-Quranmu!” kata Tuan Setan tiba-tiba.
Jelas saya berang mendengar ucapannya. Emosi saya naik pitam. Dada
saya turun naik. Dan seketika kutuk dan serapah membrudal dari mulut
saya. “Percuma selama ini aku mulai menaruh rasa simpati kepadamu! Kau
ternyata memang pantas dilaknat dan dimusuhi! Terkutuklah kau!”
“Bakarlah Al-Quranmu!” katanya sekali lagi, dengan nada yang lebih
tegas. Matanya nyalang. Gigi-giginya gemertak. Lalu telunjuknya mengarah
tepat ke wajah saya. “Bakar!” ia berteriak, “Bakarlah kalau memang
selama ini ia hanya menjadi kertas, bakarlah! Bakarlah!”
Napas saya turun naik, mata saya memerah, tangan saya mengepal. “Terkutuklah kau!” teriak saya.
“Mana Al-Quranmu!?” bentak Tuan Setan.
Tiba-tiba saya tersintak. Tiba-tiba saya merasa harus menemukan
Al-Quran milik saya yang entah saya simpan di mana, sementara Tuan Setan
terus menerus berteriak “Bakar! Bakarlah Al-Quranmu!” Saya terus
mencari.
Di manakah saya menyimpan Al-Quran saya? Saya
membongkar isi lemari, mengeluarkan buku-buku, berkas-berkas, tumpukan
kliping koran, dan kertas-kertas apa saja dari dalam lemari.
Di manakah Al-Quran saya?
Saya mulai resah mencari di mana Al-Quran saya. Saya ke ruang tamu, ke
ruang tengah, ke dapur, ke seluruh penjuru rumah. Saya memeriksa ke
belakang lemari, ke sela-sela tumpukan kaset dan CD-CD, ke mana-mana.
Tetapi, saya tak menemukan Al-Quran saya!
Di manakah saya menyimpan Al-Quran saya?
“Bakarlah Al-Quranmu!” sementara Tuan Setan terus-menerus berteriak, “Bakar!”
Saya mulai panik dan resah, kemarahan saya mulai pudar, ternyata saya tak bisa menemukan Al-Quran saya sendiri.
“Bakarlah Al-Quranmu kalau itu hanya menjadi kertas usang yang kausia-siakan!” kata Tuan Setan tiba-tiba.
Dada saya berguncang hebat. Pelan-pelan tapi pasti saya mulai
menangis—tetapi saya belum menyerah untuk terus mencari Al-Quran saya.
Di mana Al-Quran saya? Ada sebuah buku tebal berwarna hijau di atas
lemari tua di kamar belakang, saya kira itulah Al-Quran saya, setelah
saya ambil ternyata bukan:
Life of Mao. Saya kecewa. Saya terus mencari sambil diam-diam air mata saya mulai meluncur di tebing pipi.
“Bakarlah Al-Quranmu!” suara Tuan Setan kembali memenuhi ruang
kesadaran saya. Tetapi kini saya tak bisa marah lagi, ada perasaan sedih
dan kecewa mengaduk-aduk dada saya. Ada sesak yang tertahan, semantara
isak tangis tak sanggup saya tahan.
Akhirnya saya menyerah. Saya tak menemukan Al-Quran saya di mana-mana di setiap sudut rumah saya!
Kemudian Tuan Setan tersenyum menang, ia menyeringai dan menatap saya
dengan sinis. “Jadi, kenapa kau mesti marah saat ada orang yang
membakar dan menginjak-injak Al-Quran?” kemudian ia tertawa. “Lucu! Ini
lucu! Mengapa kau mesti marah sedangkan kau sendiri tak memperdulikannya
selama ini?”
Saya terus menangis. Dada saya berguncang. Tuan Setan tertawa. “Jadi,
mengapa kau mesti mengutuk mereka yang menyia-nyiakan dan merendahkan
Al-Quran sementara kau sendiri melakukannya—diam-diam?” katanya sekali
lagi. Ada perih yang mengaliri dada saya, mendesir gamang ke seluruh
persendian saya.
Tiba-tiba saya ingat sebuah tempat: gudang belakang rumah.
Barangkali Al-Quran saya ada di situ!
Saya bergegas bangkit dari tubuh saya yang tersungkur, saya berlari
menuju gudang belakang, membuka pintunya, lalu menyaksikan tumpukan
barang-barang bekas yang usang dan berdebu. Sebuah kotak tersimpan di
sudut ruang gudang, saya segera ingat di situlah saya menaruh buku-buku
bekas yang sudah tua dan tak terbaca. Seketika saya hamburkan isi kotak
itu, membersihkannya dari debu, dan akhirnya… saya mendapatkannya:
Al-Quran saya!
Saya menatap Al-Quran saya dengan tatap mata rasa bersalah. Saya
mengusap-usapnya, meniupnya, membersihkannya dari debu yang melekat di
mushaf tua itu. Kemudian Saya mendekapnya erat-erat—mengingat masa kecil
saya belajar mengeja huruf
hijaiyyah, menghafal surat Al-Fatihah… “
Astagfirullahaladzhim…” tiba-tiba dada saya bergemuruh, air mata saya menderas.
Tuan Setan tertawa lepas. “Bakar saja Al-Quranmu!” katanya sekali
lagi, “Bukankah ia tak berguna lagi bagimu?” nada bicaranya mengejek.
Saya masih mendekap Al-Quran saya, tergugu dengan dada seolah tersayat sembilu.
“Jika pendeta yang membakar Al-Quran itu mengatakan bahwa Al-Quran
adalah buku yang penuh kebencian, bukankah mereka hanya menilainya dari
perilaku yang kalian tunjukkan? Bila mereka mengira Al-Quran hanyalah
kitab omong kosong dan Muhammad yang membawanya hanya nabi palsu yang
berbohong tentang firman, bukankah itu karena kau—kalian semua—tak
pernah sanggup menunjukkan keagungan dan keindahannya? Kau, kalian
semua, harus menjelaskannya!
“Jangankan menunjukkan keindahan dan keagungan Al-Quran, membacanya
pun kau tak! Jangankan menaklukkan musuh Tuhan sementara menaklukkan
dirimu sendiri pun kau tak sanggup! Apa
sih maumu? Al-Quran tak
pernah mengajarkan permusuhan dan kebencian, Al-Quran tak pernah
mengajarkan hal-hal yang buruk, lalu kenapa kau terus-menerus
melakukannya? Al-Quran selalu mengajarimu kebaikan, mengapa kau tak
pernah mau mengikutinya? Heh, ya, aku baru ingat, jangankan mengikuti
petunjuknya, memahami dan membacanya pun kau tak!
“Lalu kenapa kau harus marah ketika Al-Quran dibakar? Mengapa kau tak
memarahi dirimu sendiri saat kau menyia-nyiakan Al-Quranmu? Ini bukan
semata-mata soal pendeta yang membakar Al-Quran, ini bukan semata-mata
soal pelecehan terhadap institusi agamamu, ini bukan semata-mata soal
permulaan dari sebuah peperangan antar-agama, ini semua tentang kau yang
selama ini menyia-nyiakan Al-Quran, tentang kau yang secara laten dan
sistematis menyiapkan api dan bensin dari perilaku burukmu untuk
menunggu Al-Quran dibakar lidah waktu yang meminjam tangan orang-orang
yang membenci agamamu! Mereka tak akan berani membakar Al-Quran, kitab
sucimu itu, kalau saja selama ini kau sanggup menunjukkan nilai-nilai
agung yang dibawa Nabimu, nilai-nilai kebaikan yang termaktub dalam teks
suci kitab yang difirmankan Tuhanmu! Maka bila kau tak sanggup
menggemakan Quran amanat nabimu ke segala penjuru, tak sanggup menerima
cahayanya dengan hatimu, bakarlah Al-Quranmu! ”
Lalu seketika terbayang, Al-Quran yang teronggok sia-sia di rak-rak
buku tak terbaca, Al-Quran yang diletakkan di paling bawah tumpukkan
buku-buku dan majalah, Al-Quran yang kesepian tak tersentuh di masjid
dan langgar-langgar, Al-Quran yang tak terbaca dan (di)sia-sia(kan)!
Saya menangis; memanggil kembali hapalan yang entah hilang kemana, mengeja kembali satu-satu
alif-ba-ta
yang semakin asing dari kosakata hidup saya. Saya melacaknya dalam
ingatan saya yang terlanjur dijejali kebohongan, kebebalan, penipuan,
dan pengkhiatan-pengkhiantan.
Di manakah Al-Quran dalam diri saya?
“Maka, bakarlah Al-Quran oleh tanganmu sendiri!” kata Tuan Setan,
“Hentikan airmata sinetronmu, hentikan amarah palsumu, hentikan aksi
solidaritas penuh kepentinganmu, hentikan rutuk-serapah politismu, sebab
kenyataannya kau tak pernah mencintai Al-Quran! Bakarlah!”
Tuan Setan tertawa lepas.
“Maafkan…” suara saya tiba-tiba pecah menjelma tangis, “Maafkan…,”
lalu saya bergegas pergi dengan Al-Quran yang kugamit di lengan kananku.
“Bakar saja Al-Quranmu!” teriak Tuan Setan yang kutinggalkan di gelap
ruangan gudang. Lamat-lamat tawanya masih ku dengar di ujung jalan.
Saya mencari masjid, saya ke mal, saya ke pasar, saya ke terminal,
saya ke sekolah, saya ke mana-mana… Saya ingin mencari mushaf-mushaf
Al-Quran yang disia-siakan. Saya ingin membersihkannya dari debu dan
mengajak sebanyak mungkin orang membacanya. Saya masih bergegas dengan
langkah yang galau. Saya ingin mengabarkan keagungan dan keindahan
Al-Quran, tapi bagaimana caranya? Sedangkan saya sendiri tak
memahaminya? Saya ingin menggaungkannya di mana-mana, tapi bagaimana
caranya?
Saya terus bertanya-tanya bagaimana agar Al-Quran tak dibakar? Bagaimana agar Al-Quran tak terbakar? Bagaimana?
Ya, Tuhan akukah insan yang bertanya-tanya?
Ataukah aku Mukmin yang sudah tahu jawabnya?
Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi
Aduhai, akan kemanakah kiranya aku bergulir
Di antara tumpukan maksiat yang kutimbun saat demi saat
Akankah kulihat sezarah saja kebaikan yang pernah kubuat?
Ya Tuhan, nafasku gemuruh, diburu firmanmu!
[KH. Mustafa Bisri, Tadarus]
Saya terus menangis dalam langkah-langkah gelisah yang bergegas,
haruskan saya melawan semua ini dengan amarah dan kebencian? Ataukah
saya harus menunjukkan kepada mereka semua yang membenci Al-Quran bahwa
sungguh mereka telah keliru? Haruskah saya kembali marah dan membakar
kitab suci mereka di mana-mana, atau akan lebih baikkah jika saya jawab
mereka dengan cinta dan kasih sayang—meneladani Muhammad dengan
menunjukkan kepada mereka kebaikan cahaya Al-Quran karena sesungguhnya
mereka hanya belum tahu!?
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Bacalah!”
tiba-tiba suara Tuan Setan datang lagi, “Biarkanlah mereka membakar
mushaf sebab Al-Quran bukanlah kertas yang bisa mereka bakar. Bacalah
Al-Quran hingga suaranya terdengar oleh hatimu, bergema di seluruh ruang
kesadaranmu, maka kau tak akan kecewa mendapati mushaf-mushaf yang
terbakar atau ayat-ayat yang teronggok di ruangan-ruangan tua berdebu
buku. Sebab Al-Quran bukanlah mushaf, Al-Quran adalah semesta, nama di
luar kata! Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.”
Saya terdiam mendengar kata-kata Tuang Setan yang terakhir, “Tuan Setan, sebenarnya siapakah kamu? Apa agamamu?”
Ia terkekeh, bahunya berguncang, “Akulah yang kau lihat dalam
tidurmu: berlarian atau terbang atau tertawa tanpa suara, sesuatu yang
lama kau idamkan tetapi lupa kau sapa. Akulah yang membakar Al-Quranmu!”
Ia terus terkekeh, terbatuk, lalu menghilang.
Fahd Djibran
Serpong, 16 September 2010
Source : http://kenduricinta.com/v3/?p=618